Rabu, 30 September 2015

DALANG karya : Subagio Sastrowardojo

Pulang dari seberang pantai

lidahnya seperti kelu

dan ia tidak sedia

memainkan lagi bonekanya

Pondoknya tertutup buat tamu

Rakyat yang kebingungan

mendobrak pintunya dan berteriak:

– Kisahkan lakon hidup ini

dan terangkan apa artinya!

Terbangun dari keheningan

ia menulis sajak satu kata

yang paling bagus

berbunyi: “Hong”

 




=SUBAGIO SASTROWARDOJO=

ILHAM karya : Subagio Sastrowardojo

di bukit siguntang

 – di puncaknya pernah kuciptakan bulan –

bintang berburuan

 

angin yang kucinta

mengucup pelupuk mata

– dinginnya menusuk, tajam

seperti duri embun –

 

apa tidak baik

mendirikan dinding

dari puing mega

dan menjaga

supaya api menyala

 

sebab aku suka kepada cahaya

yang mekar sebagai bunga

dan membakar seluruh kota

 

api, bikin aku muda

 

sebentar lagi bakal pagi

terasa pada selera lidah

dan gelitik kaki

 

segera ke lembah aku lari




=SUBAGIO SASTROWARDOJO=

 

ADAM karya : Subagio Sastrowardojo

Karena terkutuk

manusia pertama yang terdampar di pantai

matanya buta

 

Dinding mega memagari cakrawala

Dunianya adalah kekosongan tanpa makna

 

Waktu ditanya dari mana ia berasal

dan mengapa bintang berlayangan di langit

ia hanya menggeleng tak mengerti

 




=SUBAGIO SASTROWARDOJO=

PASRAH karya : Subagio Sastrowardojo

Demi malam yang ramah

aku berjanji akan menyerah

kepada angin

yang menyisir tepi hari

 

Di pinggir lembah

aku akan diam terbaring

 

Yang membuat aku takut

hanya bulan di sela ranting

yang memperdalam hening

 




=SUBAGIO SASTROWARDOJO=

BELUKAR karya : Subagio Sastrowardojo

terlepas dari napas pertama

aku terlempar ke padang sepi

anjing liar tersekat di belukar

bernasib mengembara tiada henti

dirundung rindu

kugoreskan napsu ke perut bumi

– aku sungguh tak nyeleweng dari janji –

berkubang dalam lumpur dan tahi

masih maukah kau menerimaku kembali

apa sempat kau memberiku mimpi

 




=SUBAGIO SASTROWARDOJO=

L'EDUCATION SENTIMENTALE karya : Subagio Sastrowardojo

untuk mempelajari warna

aku kembali kepada bunga

di musim tumbuh –

merah, kuning, ungu – dan hijau

dari rumput

di sela hitam tanah

untuk kilau cahaya aku belajar

dari sinar mata dan perang rambut

seperti emas, dan putih

ah, dari langit yang telanjang

atau dari tubuhmu yang kukasih

atau dari maut

semua putih

aku kumbang yang melayang

demi gairah menuntut

dan sanggup hidup sehari

 




=SUBAGIO SASTROWARDOJO=

SAJAK LUKA NEGERI BERKABUT karya : Rini Intama

Jingga kusuma hati
jingga api mengasap hitam
mengoyak pusaran amarah
yang habis sia- sia

menembang nada lara cemara tertiup angin
tanah basah memerah menyimpan lukaluka

batu kayu mengayun menyeret diri
tak kendali mengena kening tak berbaja
ratusan pedang niat ruwat menebas
tak menduga warna darah menetes tak tuntas

meretas perih dan luka

Marah api mengerat kalbu negeri berkabut

seperti tontonan di atas tungku
cerita negeri, cerita harga diri, harga tanah, harga monumen
dan harga sejarah lalu harga harkat mengapung tak berjunjung
harga hak azasi kabur melebur dalam debudebu
derit nafas terus melaju

lupa kaki pada tanah berpijak, menuding berteriak
lupa diri pada negeri terkoyak, menyerapah mengoyak sanak

awan putih mengarak luka
makam dan aroma kamboja tetap membisu



2010
=RINI INTAMA=

LIMA NOVEMBER karya : Rini Intama

Lupa pada warna senja yang sebentar lagi turun

Suara ibu memanggilku hingga suara serak berdahak

Lamat menghilang dalam pekat awan yang berserak

Secangkir air mata panas tumpah menyiram hatiku

 

Malam, kutanya di mana ibu?

Ayah berbisik, sudah di surga sore tadi nak.

 



November 2010

=RINI INTAMA=

LAYANG LAYANG MU karya : Rini Intama

kau datang tanpa mawar

Hanya benang dari layanglayang yang sudah kau terbangkan di pantai

Kau berbisik, kubawakan layanglayang ini untukmu

Kukirim kisah tentang hidup yang siap di terpa badai dan angin

lalu bergerak kemana arah mata angin membawa

 

Kita tertawa pada layanglayang berbentuk kupukupu hitam besar bernoktah kuning

yang menggantung di langit seperti terik yang mengirimkan cahaya dari balik hening

 

ada bayanganmu di sana

juga rindu yang menjelma doadoa

dan bersamamu kerinduanku meleleh seperti lilin yang terbakar api

seperti gelora ombak dan tarian kehidupan di antara awan dan kepakkepak camar

 

layanglayangmu di Slamaran mengurai mimpi dan kisahkisah panjang

jejak menapak di pasir lalu menghilang tersapu ombak

melepas tawa seusai siang menunggu hingga langit jingga

layanglayangmu kembali turun menyimpan gelisahnya sendiri

 

Slamaran dan debur ombak

mengabarkan terik siang dan kesiur angin

 

kita memang hanya mampu menelusuri pantai ini



 

Maret 2011

=RINI INTAMA=

PUISI HATI - SEBUAH PUISI KECIL karya : Rini Intama

mengerti secara sederhana saja

tak menghilang makna

seperti doa dan cerita dini hari

menyaji diri dengan teropong hati



 

Tgr 6 Sept 2010

=RINI INTAMA=

LAGU SANG HUJAN karya : Rini Intama

Lagu sang hujan menarik larik

disetiap catatan peristiwa dalam jambangan cantik

ketika menemukan segaris senyum di dongeng lirik

 

Sang hujan berlari mengejar mimpi tak kunjung temu

keinginan menjadi sebuah kemustahilan di negeri angin

Langit kelabu menyanyikan lagu hujan

 

butir air adalah pesona kekalahannya yang patut

menepis keinginan, bertaruh nyawa

dan sebuah kata bermakna nama

yang mungkin carut marut

mengusung sorak penghuni bumi

 

Tapi sang hujan mematut diri

sebagai kelayakan dalam cermin usang

dan coreng warna jelaga

Langit tetap memerah

lagu sang hujan mengalun



 

Delapan April 2010

=RINI INTAMA=

DI PERSIMPANGAN YANG LINDAP karya : Rini Intama

ku tebas pedang karat di pucuk rindu senyap

ku pinang darah pekat di dada nafasku megap

di langit kisah kuat mengendap

 

roda pagi arah barat melintang merah lambat

angin resah suara lamat habis terlumat

 

debu debu sapu sendu

 

habiskan beku

habiskan waktu

habiskan rindu



 

sembilan Juni 2010
=RINI INTAMA=

PEREMPUAN ITU MENULIS PUISINYA karya : Rini Intama


pada sebuah lagu kutitip makna syair, nada dan irama yang sempurna

tentang perempuan yang meninggalkan tangisan

pada petapeta sajak di tubuhnya yang sunyi

serupa petualang yang memahat cinta hingga berlabuh di dermaga

Lalu memutuskan pulang dari perjalanan yang panjang

 

Perempuan itu menulis puisi,

 

Hidup ini ada di bawah kaki yang berdiri tegak di atas batu dingin

mengikuti jalan angin

 

Serupa lukisan abstrak yang bermakna besar

Serupa syairsyair cinta yang tak tertebak

Dari seorang penyair yang melagukan puisi rayuan semerbak mawar

 

cericit burung melempar ribuan tanya pada belukar

 

Berapa banyak anakanak lagikah akan lahir dari persetubuhan alam ?

Berapa banyak perempuan lagikah yang akan lahir dari rahim puisipuisi cinta ?

atau wajah penuh amarah yang akan lahir dari percikan api di langit malam ?

 

tapi bukankah kita terlahir untuk dan karena sebuah alasan

bahwa hidup serupa jalan di loronglorong waktu yang gulita

dan membaca kata di panggung kosong tanpa suara

 

Perempuan itu menghentikan puisinya,

 

Ah aku melangkah menghitung detik yang menimbun luka tanpa kata

tak perlu lagi ada tanya tentang berapa, apa dan bagaimana

hingga waktu bertanya dalam bahasanya, sampai di manakah perahu akan berlayar ?

memecah rindurindu menuju jalan kembali pada tanah asal



 

Maret 2011

=RINI INTAMA=

AKU DAN KATAKU karya : Rini Intama

Aku dan kata mencintaimu,
menyelinap diantara syair syair mengalir bersama butir
butir pasir laut, bukankah sama seperti ketika mencoba
menumpahkan warna diatas kanvas seraya menunggumu,
lantas langit dan awan bergerak pelan

Aku dan kata kerinduanku,
menyelinap diantara derasnya makna aksara dalam
untaian kalimat yang menumpah, sama seperti ketika
gundukan tanah menggunung dan memuntahkan lahar…
deburannya mengalir begitu saja menerabas segala

Aku dan kata kemarahanku,
adalah ketika terbengkalainya air disela jemari mengering,
menggenggam dan cinta itu sendiri yang memberangus
ego dalam kalut, takut dan pengecut. Ada sisa waktu
yang berlari dalam rimbun hutan Halimun yang
berembun lalu sepi

Aku dan kata kesetiaanku.
adalah merasakan butiran embun sisa malam yang datang
pada dedaunan diantara kabut dingin yang menyatu lalu menunggu
esok terus datang,meski aku tertunduk lesu




10 Maret 2010

=RINI INTAMA=

SEORANG ANAK karya : Rustam Effendi

seorang anak
menoleh sayu
pada temannya
yang mengerat
sepotong daging
yang menyanyi ria
makanan bergizi
dan imunisasi



=RUSTAM EFFENDI=

KEMARAU DATANG LAGI ANAKKU karya : Rustam Effendi

kemarau datang lagi anakku
tangan ini semakin kaku
dan ulu cangkul olehku
bara terasa
dan tanah ini batu dan bata

kemarau datang lagi anakku
lihat tanaman tak berpucuk
dan mata cangkul yang mengerang
membacok batu dan bata

kemarau datang lagi anakku
apa yang kau makan siang ini
lihat tanaman tak berpucuk
di tangan bapak ada batu dan bata



=RUSTAM EFFENDI=

HUJAN TURUN LAGI ANAKKU karya : Rustam Effendi

hujan turun lagi anakku
tentu pohon para basah lagi
dan pucuk-pucuk ilalang
terasa menusuk-nusuk jantung ini

hujan turun lagi anakku
apa yang kau makan pagi ini
sepotong umbi pun jadilah
tapi, angin pun telah lama
sembunyi ke kota

hujan turun lagi anakku
hanya satu yang tersisa pada bunda
semoga malaikat datang segera
membawa sepotong umbi
pun
jadilah



=RUSTAM EFFENDI=

PENGEMIS karya : Rustam Effendi

masih terasa
ketika tangan yang terakhir
menadah dan lunglai
orang-orang berdesak lalu
cepat sekali tak sempat tahu
ada juga yang mengerling sebentar

nafasnya terengah
ketika tangannya yang kosong
rebah bersama tubuhnya



=RUSTAM EFFENDI=

AKU karya : Rustam Effendi

aku
adalah doa ayah bunda
yang tangannya cekung
menadah ke atas
yang penuh harap
yang matanya nanar
kadang berair



=RUSTAM EFFENDI=

NEGERIKU II karya : Rustam Effendi

bila malam
gelap semua
juga swara

toleh ke atas
bulan terus purnama
juga bintang yang menabur cerita

wahai pohon-pepohonan
tahan olehmu cahya itu
kecuali seberkas dan seberkas
yang mengukir cerita suci
tentang cinta kepadanya

wahai berkas cahya bulan purnama
cahya bintang yang lip-lip
yang mengukir cerita suci
kudekap isteriku
kupeluk anakku



=RUSTAM EFFENDI=

NEGERIKU 1 karya : Rustam Effendi

berbatas surga
sungai perak mengalir sejuk
ikan pik-pik di dalamnya
tangkap olehmu sesukamu

di ujung sana
hutan bentara
di atasnya buah surga
ambil olehmu
sesukamu

itu di sana
gunung beledru
benteng perkasa
nyawa kami



=RUSTAM EFFENDI=

SUATU SENJA karya : Rustam Effendi

Langit yang bagai cungkup
tinggi sekali
kuning tembaga di atasnya

langit yang bagai cungkup
tinggi sekali
ada segumpal putih
terbirit ke sana

langit yang bagai cungkup
tinggi sekali
kadang tak terperi

langit yang bagai cungkup
mengurung hamba di sini
kenapa hamba baru mengerti



=RUSTAM EFFENDI=

AKU MELIHAT INDONESIA karya : Ir. Soekarno

Jikalau aku berdiri di pantai Ngliyep
Aku mendengar Lautan Hindia bergelora
membanting di pantai Ngliyep itu
Aku mendengar lagu, sajak Indonesia

Jikalau aku melihat
sawah-sawah yang menguning-menghijau
Aku tidak melihat lagi
batang-batang padi yang menguning menghijau
Aku melihat Indonesia

Jikalau aku melihat gunung-gunung
Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Merbabu
Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Kelebet
dan gunung-gunung yang lain
Aku melihat Indonesia

Jikalau aku mendengarkan
Lagu-lagu yang merdu dari Batak
bukan lagi lagu Batak yang kudengarkan
Aku mendengarkan Indonesia

Jikalau aku mendengarkan Pangkur Palaran
bukan lagi Pangkur Palaran yang kudengarkan
Aku mendengar Indonesia

Jikalau aku mendengarkan lagu Olesio dari Maluku
bukan lagi aku mendengarkan lagu Olesio
Aku mendengar Indonesia

Jikalau aku mendengarkan burung Perkutut
menyanyi di pohon ditiup angin yang sepoi-sepoi
bukan lagi aku mendengarkan burung Perkutut
Aku mendengarkan Indonesia

Jikalau aku menghirup udara ini
Aku tidak lagi menghirup udara
Aku menghirup Indonesia

Jikalau aku melihat wajah anak-anak
di desa-desa dengan mata yang bersinar-sinar
“Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!”
Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia



=IR. SOEKARNO=
(dari buku “Bung Karno dan Pemuda”, hlm. 68-107)

SEJARAHLAH YANG AKAN MEMBERSIHKAN NAMAKU karya : Ir. Soekarno

Dengan setiap rambut di tubuhku
aku hanya memikirkan tanah airku

Dan tidak ada gunanya bagiku
melepaskan beban dari dalam hatiku
kepada setiap pemuda yang datang kemari
aku telah mengorbankan untuk tanah ini

Tidak menjadi soal bagiku
apakah orang mencapku kolaborator
Aku tidak perlu membuktikan kepadanya
atau kepada dunia, apa yang aku kerjakan

Halaman-halaman dari revolusi Indonesia
akan ditulis dengan darah Sukarno
Sejarahlah yang akan membersihkan namaku



=IR. SOEKARNO=
(dari buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, hlm. 304)

HANYUT KEMANA PELAMINAN karya : Isbedy Stiawan Z. S.

surat itu juga yang kuterima darimu, sejak kita jauh dan jalan-jalan
makin memisahkan bayang kita.

sudah kulupakan segala ihwal jalan
menuju rumah, halaman yang dulu selalu kurapihkan jika rumputan
menjalar, dan mengembali tiap tumpahan pupur atau parfum
sehabis kau bersolek

meski aku sangat ingin kembali, mengingat setiap langkah lukaku
dari rumah dan kembali ke rumah. sebab di tiap langkah itu
aku selalu mencium warna perkawinan

tapi hanyut ke mana pelaminan itu?
--aku mau berperahu—



2008/2009

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

TAK PUNYA KUNCI RUMAH karya : Isbedy Stiawan Z. S

sesuatu yang kubisikkan ke telingamu sebelum air mengalir, gunung
tegak, laut berombak, pohon jelma hutan, dan langit memayung,
akhirnya jadi lembaran-lembaran sejarah. sebuah buku lalu
dibaca seperti sejarah kita kali pertama tercipta

tidak pula kuingat ketika sekali waktu kau menawarkan buah manis
dari pohon dalam taman itu. lalu aku cicip dan kurasa amat sepat:
apakah buah itu yang dulu ditampik setelah ia diusir, atau sejenis
kurma yang selalu jadi oleh-oleh tiap keluarga kembali ziarah

seperti kenangan kita yang selalu dicerca sebab tak punya perjanjian,
di mana pun menetap atau istirahat: orang-orang akan datang,
lalu meneriaki sebagai pengembara tak punya kunci rumah!



2009

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

CERITA LAMA BELUM SELESAI karya : Isbedy Stiawan Z. S.

AKU berdiri di antara tumpukan pasir bercampur batu kapur
julang ke angkasa: lambaian pohon terasa dekat, dan anginnya
membelai rambutku. tubuhku goyang, jiwaku kini guncang

"ah, aku sudah amat rindu padamu. anak-anak yang ditinggal
dan jauh dari telapak tanganku. pasti kau pun rindu."

"aku memang rindu. hanya berapa waktu kali perama kau
lepaskan sandal di depan rumah. setelah itu aku pun lupa,
tak pernah lagi mengingat rindu rindu."

di antara tumpukan pasir bercampur batu kapur aku berdiri,
memandang rumah yang dulu pernah jadi tempat lelapku
tiap malam aku ingin tidur, atau siang saat perutku menggeremang

"kini aku tak bisa lagi menikmati rumah itu, setiap kali rinduku
ingin menarik langkahku. tubuhku sudah amat batu!"

"tapi, aku tak pernah menginginkanmu kembali pulang
sebab aku sudah biasa tidur tanpa lebih dulu kau mendongeng."


*

HANYA serpihan kalimat janji yang masih tertulis di buku yang
ada tanda tanganmu dan tanda tanganku. juga foto masa remaja

aku lalu jadi peziarah, seperti ahasveros tapi tak pernah sasap. karena
kangenku akan selalu berumah. pangkuan cinta yang terbangun dari
khianat. jadi benar, katamu, sekali berdusta maka akan selamanya
ingin berbohong

maka aku mengelana. di jalan-jalan kuludahi kebohongan, perempuan
yang dirajam sebab ia pernah mendustai kekasihnya dengan sebiji
buah. setelah itu, ia ajak kekasihku menuruni lereng setelah melepas
baju dari balutan taman

"kita pun telanjang....."


*

DI suatu masa kita pernah dipertemukan. lalu kita bersua tiap waktu, di meja
saling bertatap. di ranjang kita pun bertempur. "anjing! apakah tak ingin kau
bawaku ke bak-bak sampah itu hingga lupa makanan yang baik?"

tahu apa dengan makanan yang bersih, sedangkan daging mentah lagi busuk
pernah menemani piringku. entah di rumah makan mana atau warung kecil
di mana, aku dan kau satu piring menikmati lezatnya daging yang membusuk

dan seorang pengumpul sampah--ah, barangkali juga pengemis--menadah,
sambil lidahnya menjulur dan meleleh liurnya...



AKU ingin kau seperti dulu lagi. menyambut setiap aku datang dengan senyuman,
dan membukakan pakaianku. melepas sepatuku lalu meletakkan di tempatnya,
sangat rapih. menjemur baju kausku karena basah oleh keringat atau membuangnya
di tempat cucian.

dan menanggalkan celana dalamku kemudian mencuci bersama pakaian dalammu,
dan esok pagi akan melambai di tali jemuran. menantang terik matahari. hingga
sore ketika kau pulang, jemuran itu pun kering. "kita harus berhemat, tukang cuci
belum dibayar. gadaikan barangku, apa yang masih bisa dihargai," kataku.

kau mendelik. pegawai pegadaian tertidur sejak pagi. kantor ini sudah tutup
sejak lama. krisis global. orang-orang akan kehilangan uangnya. buku tabungan
terbakar, atau dihanyutkan banjir tiap hujan datang

"bencana selalu mengancam. sedikit lengah akan habis barang kita, juga nyawa
yang sudah berpuluh-puluh tahun kita pertahankan. kita tepis tiap maut
mau mengintai," katamu

apalah artinya nyawa kita? maut tak juga merindukan diri kita: biar pun kita
tinggalkan tanah ini, air ini, udara ini--juga hutan belantara ini--tak akan ada
yang rindu

"lalu apakah kita mentimun bengkok? sekedar buah jengkol atau petai?"


*

AKU sudah kehabisan ingin. padahal tumpukan kata hingga jadi kalimat
masih kusimpan dalam tabungan. dan setiap kuingin menulis sapa atau cacian
akan datang kata-kata minta dikenakan. tak perlu mengais lagi dari kamus
yang telah kujadikan semacam buku tabungan

tapi aku sudah kehabisan ingin menulis. sebab puisi-puisi sudah bertaburan
sebagai promosi ataupun kampanye. iklan sabun mandi, pesan moral tentang
bangsa dan pemimpin.

apakah kau tahu, hari ini hingga esok, presiden datang? membuat jalan-jalan sepi,
pasar mati, tempat hiburan makin gelap: "awas ada intel mengawasimu."

beri satu kata, akan kusudahi jadi puisi yang ditimbun kata-kata


*

AKU tak bisa meneruskan inginku.

kini tanganku amat letih. eksim yang menggerogoti jari-jariku makin perih,
berdarah dan membuat jari tanganku kaku

aku mau memejamkan mataku. meski hanya sesaat. setelah suara pertama
ayam jantan berkokok, segera pula kutinggal kursi ini yang telah menerima
badanku

aku tak mau dilihat orang, pasti aku malu. sebab itu kuingin secepatnya
membangunkan ayam jantan dan kusuruh ia bersuara:

"Sangkuriang, kau kalah. Tak bisa membangun istana. Maka tak rela
kau jadi suamiku, anakku..."


2009

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

DIANTARA DUA KOTA karya : Isbedy Stiawan Z. S.

Setelah jauh aku tinggalkan punggung bukit itu
Pantai yang mengering hingga bekas langkahku hilang
Jalan-jalan jadi mengapung, bekas hujan di dadamu
Aku bisa bercermin, wajahku yang luka
pelipismu yang memutih: "jangan biarkan
aku sendiri di sini," haramu

Tapi, aku tak bisa menemanimu lagi
Aku sudah lama ingin sendiri, mengepung jalan
Membalikkan langkahku yang lama sudah patah
Di jalan yang dulu sekali buatku tersesat
Di antara dua kota dalam sejarah lama
Memandang kosong...



2009

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

DAYUNG (PART ONE) karya : Isbedy Stiawan Z. S.

jika letihmu adalah letihku pula
kangen jadi lautnya dan rindu sebagai sampannya
kita akan arungi laut malam ini dengan peluk dan belai
sebagai dayung

*

bila dayung telah dipatahkan dan perahu dibocorkan
lambung mana lagi sebagai istirahat kita

bila laut masih gelora dan angin berkesiut di tiap layar
pulau mana lagi akan jadi singgah kita

bila pulau telah hilang dan dermaga tenggelam
peristirahatan mana akan labuh kita

bila labuh tak lagi beri sauh ditambat
akankah kita tertambat di laut jauh?

dayung yang kita buat dan pelihara
sekiranya benar-benar patah,

ke mana kita berlayar lagi?

*

baiklah malam ini biarkan jadi senyap
sebab laut pun akan hilang angin
dan gelombang pesiar di buritan
maka kita akan segera sampai
mencium segala pasir dan cangkang



2009

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

SETELAH KOTA DAN DIRIMU KUTINGGALKAN karya : Isbedy Stiawan Z. S.

setelah kota ini kutinggalkan, kaupun ingin menjamah bayangku. aroma
tubuh yang terbungkus angin, masih sempat kau hirup: --aduhai, berangkatlah
selagi keringat belum basah di ketiakmu. sebelum...-- makan siang di terminal,
entah tak bernama, mencecap nasi dan ikan asin sambil mengingatmu yang
terpaku ketika kutinggalkan kotamu,

di tepi jalan kau melambai, aku sangsai: memandangmu kelu, tubuhmu
berpeluh.

meski bebera jam tadi kau telah ingatkan aku agar tak lupa pada sandal yang
kuletakkan di depan pintu, tetap saja aku lupa. kini sepasang sandal di kakiku
pernah pula menemanimu berhari-hari. tapi, mungkin di kota lain setelah ada
pemberhentian, akan kuganti sandal di kakiku dengan sepatu. aku pasti seperti
mempelai saat bersepatu, walau aku tak lagi memiliki mahar.

lalu akan kutunai dengan apa segala cinta dan kesetiaanmu?



=ISBEDY STIAWAN Z. S.=


LUPAKAN PERJALANAN karya : Isbedy Stiawan Z. S. .

“jangan sakiti aku,” harapmu, setelah beberapa malam kau lelap sendiri
sementara aku terus-terusan mencecap embun, dan menyusuri kelam
sejumlah jalan. kota semakin berkabut, jalan-jalan basah, dan orang-orang
terdengar batuknya.

ah, dua kanak-kanak tak bisa lagi menahan lelahnya—juga kantuk—lalu
di tepi jalan, di bibir trotoar, ia pun lelap. berpeluk lutut, berselimut
rekat. “akan kulindungi adikku dari sengat dingin, juga embun, dan
debu dari roda kenderaan. malam semakin meruncing.”

jalan pagaralam susut, meski warung-warung tetap memancarkan sinar. dan
aku menyeret letih ke pembaringanmu, kekasih!

lupakan dua kanak-kanak itu, sambil menyimpan sakit hati



2009
=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

JALAN KE PEMAKAMAN karya : Isbedy Stiawan Z. S.

perutku mual setelah kembang yang disodorkan ke mulutku, dan kau pun
lalu tersenyum. “aku mau pergi dari taman ini, sebab bau kembang tak
lagi membuatku ingin selalu mengenangmu.”

tapi di taman mana akan kurebahkan kembang pemberianmu, ketika semua
pemakaman sudah tak lagi menyimpan jenazah. bahkan aku dengar sudah
ditanam beton bangunan atau perumahan elit yang tumbuh di sana. “dan jalan
ke pemakaman ini bukan lagi menuju peristirahatan, tetapi untuk sampai
ke perumahan itu.”

sungguh, perutku mual. tapi aku tak lagi bisa memuntahkan kembang
pemberianmu, jadi setaman…



2009
=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

MUNGKIN DARI SITU GINTUNG karya : Isbedy Stiawan Z. S.

sepagi ini kudengar jeritmu, sesubuh ini seperti gemuruh
dari bukit-bukit tanpa huni yang terban. entah siapa pula
yang dipanggil. entah berapa pula yang telah menyusul
selepas subuh, mungkin, sebab tak kutahu kapan
kau berlari bagai memburu angin dengan teriakan
yang tak kutahu pula akan sampai ataukah lesap

air itu begitu besar: memburu setiap yang lelap dan lengah,
mengejar yang lari ketakutan sambil mencari bebukitan
“tapi, di sini tiada lagi bebukitan. tak ada lagi perahu
yang pernah terdampar ditinggal nuh itu.”

kecuali waduk yang dipenuhi maut. air yang sudah lama
haus tapi kau tak pernah memberi tanda dan juga belaian,
maka sepagi ini ia memburumu. dan aku kehilangan
untuk sekian abad lamanya. mungkin…




=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

KITA SAMA-SAMA MENGUTUK karya : Isbedy Stiawan Z. S.

selesaikan saja segala lambai dengan ucapan kasih
atau segala kasih dengan ciuman. karena kenangan
sulit melampaui waktu-waktu di dunia ini: sebab usia
akan cepat tanggal, sedang kenangan akan seperti
tanah yang mengekal bersama bunga yang ditanamkan
dan diberi selapis air.

tapi bukan air yang telah membuatmu ada lalu menghirup
udara ini sebagai perjalanan bersama. di tempat ini sebab
kita sudah sama-sama mengutuk tiap berbau lumpur!



2009

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

KEMARIN DAN HARI INI karya : Ramadhan Al Fatih

Bulan-bulan yang berlalu telah cukup memandikanku dalam perenungan panjang,

menerima nasehat Tuhan dan melepaskan kegaduhan duniawi.

Hari-hari telah cukup kutangisi dan waktu-waktu yang bengis pun telah cukup menawanku.

Itu adalah benih-benih pengetahuan yang kutanam dengan tangan bergetar

dan bibir penuh ratapan. I

nilah ranum buahnya yang kupanen sebagai lambang kesabaran.

Apa kau pikir bahwa kemarin aku telah mati terkubur dalam kekalahan?

Tidak seperti itu wahai saudaraku,

karena Tuhan memberikan petunjuk-NYA yang nyata

ketika kuhaturkan lukaku dalam keikhlasan.


Ini adalah jiwaku yang baru,namun bukan lahir dari yang mati dan tidak sekalipun

akan membunuh sebagai pembalasan.

Karena hari ini aku datang dari kemenangan untuk membawakan obor padamu,

supaya kau dapat melihat jalanmu sekaligus mengantarmu pada Tuhan yang satu.

Sebab dunia yang kau dewakan itu hanyalah sumur begitu dalam,

sementara di dasarnya hanyalah tanah kering yang menyuguhkan keanehan teramat nyata.

Inilah yang kusebut makna kehidupan,yakni rendah diri dan menyerah

untuk kembali pada Tuhan itulah kemenanganku.


Jika kemarin aku memilih diam kepadamu,itu bukan berarti aku takut kepadamu,

duhai sahabatku?

Namun aku tak memiliki perkataan apapun yang lebih baik,

sementara hatiku menahan kesedihan terhadapmu yang mencari kepuasan duniawi.

Sehingga kau memberikan tuduhan-tuduhan kepada sesamamu

dengan menggalang opini kebenaran,

agar dirimu senantiasa mencumbui harta

dan kemewahan yang berada dalam rasa aman lindungan syaitan.




=RAMADHAN AL FATIH=

AMALAN HATI karya : Ramadhan Al Fatih

Aku menutup diriku yang sebenarnya,dari perempuan yang hendak menyentuh hatiku.
Sebab aku tahu bahwa, apa yang tersembunyi dariku akan membuatnya berpaling
dari kebenaran yang seharusnya dia cari.

Apa yang terlontar dalam jeritan dan tangisan bayi adalah keinginan murni yang tenang.
Siapa yang melihatnya dengan ketidak sabaran,hanyalah akan menimbulkan kebutaan hati yang tak dapat meraba jalan menuju pintu rumah jiwanya sendiri.

Kesengsaraan dan kemalangan yang kututurkan pada sahabat yang kusayangi
merupakan kulit dari isi buah kebahagian,
namun dia memandang pemberian kasih dari sisi luar yang terbentuk
dan tertangkap oleh mata wajah.

Seorang pengemis yang buta matanya memperoleh sebutir koin dengan jumlah rendah
dari pemberian hati yang tulus.
Kemudian hatinya berucap syukur seraya berdoa pada Tuhan yang maha melihat;

semoga Engkau melapangkan rizkinya ya Tuhan.

Hati bagiku adalah pancuran kekayaan yang terasa segar
jika mengalir keikhlasan
dan hati yang mampu menterjemahkan keadaan sebenarnya.




=RAMADHAN AL FATIH=

KUTAHU karya : Ramadhan Al Fatih

Yang ku tahu kau selalu menungguku disana.

Diatas sebuah menara istana,

dimana matahari memahat puisi keteduhan

dan rembulan terlena oleh lantunannya.


Di seberang sana kau berada.

Lewat angin kau titipkan kata padaku ;


Datanglah ke kotaku,sebab tak ada yang sia-sia di jalannya.

Bunga-bunga tak pernah layu

dan tenda-tenda berhuni bidadari menunggumu penuh cinta.


Aku tahu,kau mencintaiku apa adanya.

Meski telah seribu kali aku membuatmu kecewa.

Namun ku tahu cintaku padamu lebih dari luar biasa.

Karena ku tahu,

KAU MAHA TAHU.





=RAMADHAN AL FATIH=

KEMBALI karya : Ramadhan Al Fatih

Saat tiba di halaman rumahmu,aku melihat pintu-pintu terbuka lebar menyambutku.

Aku datang padamu,sebab kau mengetuk pintu kelalaianku.


Dari dalamnya lautan aku tenggelam dan menyembul sebagai karang.

Aku berpetualang menaklukan imajinasi,menumbangkan ganasnya rasa takut

yang menghadangku.

Tapi apa artinya bila kau tak mencintaiku.

Aku takut padamu,bukan karena maut yang mengerikan menghampiriku.

Melainkan tak akan kusiakan hadir sebagai salah satu tamu

dalam perjamuan kasihMU.




=RAMADHAN AL FATIH=

SATU KEKASIH karya : Ramadhan Al Fatih

Siapa yang memanggilku?

Aku melihat menceng pakaianmu di balik batu hitam besar.

Jika kau adalah iblis,maka keluarlah dan tampakan kecantikanmu!

Namun jika kau hanya jiwa kesendirian yang tengah mabuk,

hendaklah muncul dengan kelemahan lembutanmu!

Hingga berapa kali kalian memikatku, aku tak akan berpaling dari kekasihku.

Kekasih bagi para kekasih yang sadar dan mencintai cinta,

karena ketika kuutarakan jatuh hati padanya.

Ia menunjukan kebaikan-kebaikan yang tak terhitung.

Apa yang telah kau tawarkan padaku di waktu lalu?

Merupakan kebohongan dan hanya akan mengantarku dalam kesesatan.

Kau tak mampu memberikan apa pun yang telah kekasihku berikan.

Kekasih yang tak memiliki siasat-siasat buruk,

kekasih yang mulia dan mata air harapan.

Dia adalah kekasih para kekasih yang memerdekaan budak-budak.

Kekasih air mata kerinduan yang bertasbih

dan dia tujuan para kekasih yang menggelayuti jalannya.





=RAMADHAN AL FATIH=

KARENA RINDU karya : Ramadhan Al Fatih

Aku menunggumu ditepian senja-senja berlalu,

ketika langkah telah menyisakan buih-buih alam khayalan.

Menjemput pada puncak-puncak malam

yang merasuki tulang belulang,

meski isyaratmu pun tak tersentuh kalbuku.


Di ambang pagi itu aku menunggumu,

bahkan...

ditengah siang mengeroyokku aku masih beribu harap menantimu.

Hingga kini mungkin kau hanya diam mengawasiku,

membiarkanku berlari,

melangkah

sampai merangkak

dan terperangkap dalam semak belukar.


Bila tak kulepaskan belenggumu

dengan kepasrahan ini,

maka

akan kumerdekakan cintaku

hingga datang pernyataan MU

memisahkan

roh

dan

jasadku.




=RAMADHAN AL FATIH=

CINTA BERSYARAT karya : Ramadhan Al Fatih

Inilah hatiku yang berisikan gandum&rempah;. Ambilah! Tapi jangan hanya kau sentuh,kupaslah hingga bagian terdalam dan bau anyirnya.

Inilah cintaku yang berisikan anggur&kurma;. Milikilah! Tapi bukan sekedar kau simpan,sertakanlah dalam kepakan sayapmu terbang dan tergelincir.

Cintailah aku,seperti fajar menyalami mekarnya kamboja. Seperti mutiara langit yg berjatuhan menyuburkan tanah-tanah perindu.

Milikilah aku! Meski tak setabah Asiyah,namun tak menjadikanku lupa diri.

Sayangilah aku! Meski tak sesabar Ali,namun tak memperlakukanku bak Salman.




=RAMADHAN AL FATIH=

AKU DAN MENCINTAIMU karya : Ramadhan Al Fatih

Aku tak perlu sayap-sayap sang gibran untuk terbang kehatimu,

tak juga harus kugapai kesucian sang rumi untuk menyentuh kalbumu.

Aku tak perlu menggapai terangnya keberanian napolleon untuk memerangi kesendirianmu,

tak juga perlu kumiliki kemilau mahkota cleopatra untuk melingkari ingatanmu.

Dan untuk menuju lorong pikaranmu,aku pun tak perlu menyusuri rongga hira,

bahkan dalamnya nil pun tak perlu kutahu untuk merasuki khayalanmu.

Karena aku akan menuju kehatimu sebagai diriku sendiri dan dengan diriku sendiri beserta segala apa adanya.



=RAMADHAN AL FATIH=

TENTANG CINTA karya : Ramadhan Al Fatih

Cintamu yg kuat pada seorang kekasih,

sesungguhnya itu bukanlah cinta yg sejati.

" tak usah kau sebut namaku sebelum kau tidur,karena kekasihmu ini bukanlah doa yg mujarab ". Cinta pada seorang kekasih terlalu membuatmu mabuk,hingga membuatmu lupa diri.

" jika seorang kekasih merajai hatimu&memandu; kepentinganmu,maka hal terpenting yang harus kau jaga adalah imanmu ".

Cinta adalah luar biasa,tapi sederhana. " Demi cintaku padamu kekasih,aku rela seribu kali menghadapi prahara dan siap; mati untukmu ".

Cinta yg benar tak mengajari dirimu menjadi dungu,

cinta yg baik adalah kesadaran dan cinta; yg sejati adalah membimbingmu pada ridho Illahi.



=RAMADHAN AL FATIH=


BAGAIMANA KAU TAHU KEKASIHMU MENCINTAIMU ? karya : Ramadhan Al Fatih

Bagaimana kau tahu kekasihmu mencintaimu?

Apa ketika ia berbisik lirih kepadamu,sembari berkata;

Aku mencintaimu.

Atau apa saat ia mendendangkan lagu-lagu tentang cinta yang memabukan?.

Lalu bagaimana kau tahu kedalaman kasih sayangnya?

Apa ketika di malam yg di taburi bintang-bintang ia memberimu kalung permata,

dengan lembut memasangkanya di lehermu dan secara perlahan ia mengecup bibirmu?.

Dan bagaimana kau tahu seberapa kuat ia memilikimu,yg tak mengenal usia

Dan lebih; panjang cintanya dari pada hidupnya?.

Apakah ketika ia mengajakmu menari di atas permadani,lalu melesatkan imajinasimu?.

Jika aku, aku tahu kekasihku mencintaiku ketika ia mengingatkanku dari rayuan nafsu

Dan ketika; ia menyertakan namaku dalam doa dan akhlaqnya.

Aku tahu kekasihku menyayangiku,

ketika ia membalut imanku lbih kuat bahkan dari kelalaianya sendiri.

Ia menyayangiku dan memberiku; keutamaan,menjauhkan dari fitnah.


Dan cintanya yg tinggi terlihat saat ia menjaga auratnya dan menyembunyikan; hatinya.



=RAMADHAN AL FATIH=

Selasa, 29 September 2015

SELALU SENYUMMU karya : Isbedy Stiawan Z. S.

selalu senyummu terkenang setiap kau pergi tiap pagi, meski tanpa pamit
juga melepas ciuman. ia menggenang di ranjang, bufet, ruang tengah,
ataupun jendela kamar. bunga-bunga akan mekar bersama matahari
pagi yang memancar,

sekiranya kau pamit tiap pagi sebelum meninggalkan rumah ini, selalu
senyummu akan memberi salam dan kecupan; dan ranjang, bufet, dapur,
ruang makan dengan sendirinya akan turut menyalami. ia akan bangunkan
aku walaupun semalaman mataku terjaga

mataku akan menerangi jalanmu. mataku pula akan membangkitkan
setiap senyummu akan layu. seperti bunga selalu disiram agar tak kuyu,
begitulah cinta memberi hidupnya bagi semesta ini. senyummu selalu
kumaknai hidupku dan mengalirkan ruh apabila hatiku berpeluh

selalu senyummu menggetarkan bunga di pas yang kau letakkan di tepi
ranjang, di atas bufet, ruang tengah—tempat biasa kita bercengkerama
agar bisa membunuh sepi—dan akan kau sirami setiap pagi jelang
kau tinggalkan rumah ini:

juga aku yang masih lelap sebab semalaman aku terjaga
bagi cinta yang mungkin akan mati. aku menjaganya sebagaimana
kulindungi hidupku dari hempasan gelombang besar itu…



lampung, 2008

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

DAUN PENUTUP karya : Isbedy Stiawan Z. S.

jangan kausimpan daun-daun bekas penutup itu, perempuanku,
agar apel yang kumakan dan kini telah rimbun buahnya
tak mengundang kembali ular yang akhirnya kita tersasar
di antara bukit dan padang. aku akan semakin sedih jika
kita terpisah lagi. aku mencarimu di bawah sengat matahari,
dan kau memanggil-manggilku dari kejauhan. tertutup
dan terik matahari: tubuhmu peluh

harus dengan apa kuingatkan lagi, ketika daun-daun bekas
penutup itu kausimpan rapi. selalu katamu: daun-daun itu
adalah kenangan. dan sebagai ingatan, jangan sampai hilang.
tapi karena ingatan-ingatan akan masa silam itu aku tidak
pernah bisa merangkai kenangan baru. hanya berdiam atau
menghitung lembar-lembar daun, meski tak pernah tepat
hitungannya. aku tak lagi ingat sudah berapa kesalahan
dan kebenaran

kutabung dan kusia-siakan




=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

MENJEMPUTMU karya : Isbedy Stiawan Z. S.

jemput aku, katamu. aku pun bawakan selembar tangan bersayap, akan
kumasukkan kau ke dalamnya. melipat jadi senapas. sebab kau tak lagi
terpisah dari dalam sayapku. “mau terbang ke mana kalau berakhir juga
ke dalam sayap ini?”

mesti tak kutahu dengan apa kau akan setia di dalam sayap ini. menembus
waktu, melampaui padang dan lautan. “jika kau di bukit pasti sudah sejak
dulu kudaki untuk menjemputmu, tapi kau sudah turuni lereng dan
bersemayam di padang dan lautan.”

mesti dengan apa kuyakini kau, kujemput ketika matahari dari timur
di matamu dan cahaya senja di rambutku, saat itu tak sayap tak ada
juga belum tercipta padang, laut, maupun bukit. kecuali aku terbangun
dari penciptaan, kau dalam keadaan letih tertidur di sisiku. kuraba
pinggangku, dan kurasakan ada yang raib. “sebenarnya aku tak bernaung
apalagi keluar dari pinggangmu,” katamu setelah kedua matamu
bercahaya

lalu aku menjemputmu setiap waktu. baik saat letih atau sehat. apakah aku
sedang bersedih maupun tertawa. kita arungi laut, lampui padang, juga
daki bukit. “buka sayapmu, bawa terbang aku,” pintamu.

sejak itu selalu bersama. Kita….



=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

SETELAH PINTU TERTUTUP karya : Isbedy Stiawan Z. S.

setelah pintu rumah tertutup dan langkahku membekas di halaman,
maka makin terasa jauh berpisah antara aku dan kau. kenangan-
kenangan tersapu waktu. hanya suaramu yang masih melekat
di telingaku, tapi tinggal desah

aku harus pergi. melepas masa lalu di halaman, di pintu rumahmu
aku titip namaku. sebagai pengembara kini kuhapus setiap ingatan
pada rumah. membunuh keinginan untuk pulang. aku begitu
setia pada setiap jalan yang akan membawaku jauh pergi. di sepatuku
hanya tergambar trotoar ataupun persimpangan. lampu-lampu jalan
memancar dari ujung sepatuku. bahkan keringat yang tumbuh di aspal
kini mengekal di telapakku.

lebih baik melepuh seluruh kakiku kalau aku akan bahagia sekiranya
tak ada bayangan rumah atau angan pulang di kepalaku. serupa
kunang-kunang, aduhai, berkelindan dekat di mataku.

biarkan aku jauh pergi karena dengan melupakan pulang
aku tetap akan sampai di depan gerbang!




=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

AKU PERGI SAAT API DI MATAMU karya : Isbedy Stiawan Z. S.

1. Aku pergi

Aku keluar rumah saat api di matamu semakin menyala. Tak ada waktu lagi
merapikan rambut dan memakai pegharum tubuh. Kecuali beberapa
pakaian yang bisa kuselematkan, sedangkan lainnya terbakar di dalam
matamu. Bola matamu adalah tungku, apinya membara: jilatan
panas membakar dadaku. Tubuh garing, waktu membara.

Kutinggalkan rumah ketika bara di matamu laksana tangan-tangan
menari—ah tidak, seperti lambaian agar aku pulang—tapi aku tak lagi ingat
bagaimana cara membuka pintu. Sudah kubuang kunci yang selama ini
kupakai untuk membuka dan mengunci. Menyangkarkan kau atau
melepasmu terbang. Kujadikan burung yang dimanja; setiap pagi kumandikan
sayapmu dan kubelai jelang tidur.

Kini hanya sisa kenangan. Api yang semakin membara di matamu, kobaran
amarah dari dadamu telah menghanguskan segala kasihsayangku. Aku
sekarang mau pergi jauh, setelah kulempar kunci yang dulu mengingatkanku
selalu akan pulang. Sudah kulupakan pula bagaimana berkencan secara
indah bersamamu. Mengulum setiap kalimatmu, lalu kurekam dalam lidahku
berapa kata yang melelapkanmu.

“Kau tak akan pernah pergi jauh, sayang. Seluruh liurku sudah tertanam
sebagai rumah. Jadi, ke mana pun arahmu melangkah di situlah wajahku
tersenyum. Seperti selalu ingin mengajakmu menumpaskan
hari-hari gerah. Kau tahu, sudah kulumuri tubuhmu dengan liurku, karena
itu kau tak akan sanggup jauh dariku,” katamu, tepatnya mengancam, penuh
kesombongan.

Dan, buktinya aku pergi juga. Kutinggalkan rumah setelah kulempar kunci
entah di mana agar aku tak lagi menemukannya yang membuatku rindu
pulang. Waktu kutinggalkan rumah, kau sedang menyalakan api
di kedua matamu. Sementara matahari yang menyala kau kobarkan terus
dalam dadamu. Sebilah besi kaupanggang di sana, seperti pandai besi,
kau sulap jadi parang. “Engkau bukan Empu Sendok! Hanyalah seorang
perajin dan penyulam.Tapi, tak pernah selesai,” teriakku. Setelah itu aku lari kencang. Tubuhku mengejang.

Tak ada artinya teriakanmu. Bertahun-tahun tubuhmu dalam genggamanku,
kau dalam pengaruhku. “Segala yang kaulakukan dari sihirku. Sekali kukatakan
‘jadi!’ kau akan jadi dalam kehendakku!” Sebab itu, urungkan niatmu tinggalkan
rumah kalau kau tak pernah jauh berjalan. Terlalu lebar halaman ini,
kembalinya ke taman juga. Padang-padang, lautan, dan bukit: lalu mau
ke mana setelah kau tutup pintu rumahmu?

“Yang penting aku pergi. Meski tak kutahu ke mana kulangkahkan kakiku, tak
tercatat nama-nama jalan dan persinggahan. Aku juga buta warna rambu,
namun sekali pergi tak hendak aku pulang. Sekali kukatakan
sudah kubuang kunci yang dulu mengingatkan pada rumah, kini setiap
hasrat membuka pintu telah kugagalkan dengan kuncimu,” jawabku
sambil menyeret sepatu satu-satunya milikku yang buruk, namun sudah
sepanjang usia menemaniku.

Sepatu itu—sepasang sepatu yang telah hilang warnanya—semacam
kekasihku sudah bertahun-tahun mencintaiku, dari pagi hingga tengah malam
baik dalam suka maupun duka. Ia telah berjanji di hadapanmu tak akan
menceraikan aku, tak berhasrat meninggalkan kedua telapak kakiku.
Ia berkata, aku yakin dari ketulusan hati, “Aku sangat mencintai kedua
telapak kakinya, sehingga biarpun tubuhku hancur atau subur tetap
setia aku melindunginya dari duri-kaca-kayu yang ingin melukainya. Aku
mencintainya, meski mata kakinya tak berfungsi.”

Sepatu itu kini turut kutinggalkan. Aku lupakan dia sejak kutitip dengan manis
di sebuah gudang. Walaupun sebagai penghormatan, ia kuletakkan di rak
paling atas dan amatlah rapi. Tetapi ia tetap tak berguna, tak lagi
kugunakan dalam kemarau ataupun hujan. Merasakan kebengisanku,
ia bertutur: “Jangan pernah percaya pada manusia bertutur manis
dan syahdu, sebab di balik itu tersimpan harimau yang sewaktu-waktu
menerkam dan mencacahmu!”

Sepatu-sepatu lainnya hanya memandangnya. Heran. Mungkin mereka
percaya, namun bisa jadi mencibirnya: “Kasihan kau, baru sekarang
kau ungkapkan keburukan-keburukan kekasihmu. Padahal dulu, saat
kau selalu bersamanya dan saling mengasihi, bunga paling beraroma
yang bertunas di bibirmu. Sekarang….”

Aku mesti pergi, meski dengan apa aku harus tinggalkan rumah. Melupakan
setiap kenangan dan masa silam yang pernah menyatukan kita di dalam
buku yang tertera namaku dan namamu. Entahlah, apa pula kusebut
buku itu. Mungkin tak bernama. Tetapi senantiasa ada di sakuku. Buku itu
akan kutunjukkan setiap orang yang bertanya maupun merazia. Meski kau
telah lama kutinggal, sejak kubuang kunci dan berjalan melupakan
pulang…





2. Aku piatu

Setelah jauh dari rumah, dari kenangan tentang kunci, pintu yang terbuka lebar
dan kulihat kau tersedu saat kutinggalkan dengan mata penuh api. Aku pun
tersadar kini; aku piatu. Aku hanyalah sebatang kara. Orang yang keluar
dari kemaluan ibu tanpa kawan. Sejenak menangis, mungkin penanda
betapa aku sesali tercipta sebagai manusia. Toh, pada saatnya nasibku
lebih rendah marwahnya dari hewan. Aku tak akan pernah melebihi apa
yang sudah menjadi hakku atas ciptaanku. Seperti sepasang sepatu
yang kuumpakan kekasihku, aku akan dititipkan pula di kamar kosong
dan berdebu. Tak ada satu pun yang meletakkan kasihsayangnya
di tubuhku. Tak juga senyum atau bunga paling beraroma. Cuma selarik
kata: “Kau kini sudah piatu. Tak berharta dan bermarwah. Hanyalah duafa,
kau duda bagi diri dan cintamu.”

Kalimat itu kurangkai, lalu kukirim padamu sebagai surat. Bacalah! Dengan
menyebut namanya yang tercipta dari segumpal darah….

Kemudian kunikmati kepiatuanku. Merantau tak kenal pintu.

Aku piatu. Kakiku tak bersepatu. Telapak kaki luka karena duri-
kayu-kaca. Menganga. Darahnya tumpah ke laut merah. “Kembalikan
aku sebagai Musa yang terlindung dalam keranjang saat kau hanyutkan
ke sungai itu. Meski aku diasuh raja bengis yang murka, aku tetap terjaga
untuk setia kepadamu.”

Aku adalah piatu…




3. Senja

Di hadapanku matahari kemerahan. Sebentar lagi aku akan ditinggalkan
sendiri duduk di batu hitam ini. Belum juga kudapati jawaban dari
pertanyaan-pertanyaanku sejak kanak-kanak. “Apakah semesta ini ada
karena ia berkeinginan ada? Adakah rupa warna tercipta sebab mata
membuatnya ada? Kalau semesta benar-benar ada, tak bolehkah
ia berpikir? Bukankah aku ada karena kau memberiku akal?”

Waktu berputar. Mempercepat bilangan tahun. Rambutku berubah warna. Kini
mencapai senja. Seperti warna matahari yang mulai lengser di barat,
aku melangkah berat. Tiada emas sekarat pun. Aku tak pernah berpikir,
meski aku diberi akal, menabung yang kupecahkan pada hari nanti.


Ketika matahari amatlah parak. Orang-orang terlalu panas oleh sengat
cahayanya. Tetapi, waktu itu, tak ada lagi perajin payung. Semua orang
jadi bodoh bagaimana menganyam kayu dan merekatkan kertas, lalu
kau jadikan pelindung saat hujan dan terik.

Di dalam benakku, berulang-ulang, bayangan sebuah jembatan. Amat
sangat kecil dan rentan patah. Tetapi banyak orang berani melintas
di atasnya, meniti tujuh helai rambut terbentang. Kusaksikan orang-orang
bagaikan sekelimunan kutu merayap di rambut anakku. Kutu-kutu itu
kutangkap dan kumatikan dengan kuku jempolku, setiap hari. Mungkin
sudah seribuan kutu, mungkin pula lebih, mati ditindas jempolku. Hanya
saja, yang meniti jembatan rentan dan di bawahnya kobaran api yang
memancar dari kedua matamu, dengan anggun dan melambai padaku.

“Terimalah apa yang telah kau perbuat. Berapa langkahmu menyimpang,
sekarang sama kau terima. Sedikit pun tak dikurangi atau ditambah.”

“Lalu, apa yang kau pernah perbuat sehingga dengan anggun kau meniti. Bahkan sesaat lagi kau akan sampai di seberang sana?” tanyaku. Aku
sangat cemas pada diriku. Api yang menyala itu mulai membelaiku,
panas. “Aku mau sepertimu.”

Kembalilah, ingat pada kunci yang kau buang itu. Sebab dengan kunci
Itu kau akan mengerti sesungguhnya pulang dan mengenal kembali
rumah, sangatlah menyenangkan.

Ia surgamu…





4. Malam dan usia di depan pintu

Akhirnya, pulang adalah pilihan setelah kau pergi—betapa pun kepergianmu
jauh atau cuma sebatas tetangga—sebab setiap keinginan pulang
mestilah dimulai dengan pergi. Adakah orang pulang tanpa pernah ia pergi? Orang-orang mau merantau karena tahu nikmatnya mudik.

Aku pergi sebab kutahu indahnya pulang. Rasa nikmatnya saat jalan menuju rumah. Dalam kepergian Itu, kubawa kampung halaman; kukantongi
ingatan-ingatan tentang rumah. Halaman rumah yang dipenuhi rumput hijau, pohon-pohon rindang dengan buah lebat. Seperti ranum wajah kekasih.

Jadi, bagaimana mungkin kau akan lupakan rumah? Pergi untuk
tidak ingin pulang? Kau boleh tinggalkan rumah dan melupakan sepatu
yang teronggok di kamar kosong, serupa gudang itu, namun jangan
pernah melumat ingatan untuk pulang.

Dan, saat malam di usiaku yang keperakan ini, aku tiba di depan
pintu rumah. Menyerahkan semua peluh dan keluh. Membongkar
buah tangan yang hanya dipenuhi debu dan kecewa. “Pasar sudah
lama sepi. Pasar makin megah dan angkuh!” bisikku.

“Itu sebabnya, kenapa kau pulang? Karena kau tak lagi bisa berdagang?
Tawar-menawar nilai diri dan nasibmu?” tanyamu. Meski aku tak tahu
dengan kalimat apa menjawabmu, aku tak sanggup untuk tidak
mengangguk. “Bagus. Kejujuranmu, setidaknya, mengurangi besar
hukuman untukmu.”

Malam ini, usiaku berada di depan pintumu. Tak mampu lagi kuajak
berdusta. Ia enggan kubujuk merantau: memasuki kota-kota
asing, tempat-tempat tak bernama yang hitam, gedung-gedung yang
menyimpan kemalangan dan kecemasan. Ke tepi-tepi pantai yang
kerap membuat orang abai.

Ke tubuh-tubuh sintal dan ranum. Aroma badan yang dapat menyihirku
hingga menjelma peri, lalu melaknat orang-orang lain dengan racun
yang kuperas dari lidah ular. Ular yang dulu sekali telah menjebak
kedua orang tuaku: ayah dan ibuku.

Ular itu menyebarkan fitnah. Sampai keluargaku terbunuh
oleh adiknya sendiri. “Aku akan bunuh setiap akan lahir ular. Rumput liar
tempat paling aman sembunyi ular akan kupangkas hingga ke akar.
Beri aku kesempatan sekali saja sebagai pemangkas rumput, kalau
kau menghendaki tak lahir lagi ular. Kau tahu, racun ular lebih berbahaya
dari liurmu. Tetapi, bisa ular tak mampu mengalahkan lidahmu
tak bertulang. Kau sebarkan kata-kata dusta. Kau fitnahku!”

Sesungguhnya, hidup ini tak aman dari ihwal fitnah. Tak mungkin kita mampu sembunyi dari fitnah dan caci. “Karena itu, kau kembali setelah lama pergi? Menjadikan rumah tempat paling aman dan nyaman
dari segala marabahaya?” tanyamu

Tak berani kukatakan iya, meski sulit menggelengkan kepalaku.






5. Di tepi pantai, suatu siang

Kita bergegas menyisir pantai. Pasir-pasir yang masih menyisakan buih ombak,
melekat di kakimu. Kau biarkan sebagai penanda bahwa kau pernah bersamaku
singgah di pantai ini. Di tepi laut. Memandang jauh, menyaksikan perahu-perahu
nelayan pencari ikan. Yang pergi dan menepi ke pantai.

Para nelayan itu tahu kapan datang badai dan angin tenang. Tetapi, selalu saja,
mereka setia melaut. Menebar jala, melempar mata kail, menjatuhkan bom. Lalu
menangguk ikan tangkapan “ Ke mana ikan-ikan itu akan dibawa?” tanyaku.
Para tengkulak sudah lama menanti.

Tanganmu melingkar di pinggangku. Susuri pantai berpasir ini. Seperti
masa kanak-kanak dulu, kubuatkan rumah untukmu. Rumah pasir. Berdiri kokoh
dan kau ingin segera menempatinya. “Sekiranya jodoh, aku akan bersamamu
menghuni rumah impian ini,” bisikmu kemudian mendaratkan bibirmu
di keningku. Aku membalas.

Hanya saja, rumah yang kubangun tak lama tegak. Serombongan ombak, sekelimun gelombang, meluluhkannya. Tersapu sampai ke daratan. Terhapus tanpa meninggalkan kenangan. Kau pun tersedu. Aku berduka.

“Bila gentar dihantam gelombang, jangan dirikan rumah di tepi pantai. Jika
kerap masuk angin dan tak tahan cuaca pantai, baiknya bangun rumah
di lurah saja,” nasihat seorang nelayan, suatu kesempatan.

Bergeming. Kewkeh. Tetap kubangun rumah di tepi pantai. Untukmu agar setia pada pulang. Pintunya menghadap pantai. Jendela yang terbuka bagi matahari
menampakkan wajahnya. Pada pagi hari, aku duduk di belakang rumah. Membiarkan wajahku disapu cahaya. Dan jika senja hari, kunikmati sunset
yang menawan itu. Matahari yang kemerahan pelan-pelan sembunyi
ke balik ufuk.

Aku abadikan. Kau memajangnya kemudian di dinding. Sampai pada akhirnya
gambar itu hanyut oleh gelombang besar. Bersama rumah dan barang-barangku
yang lain. Juga aku dan kau.

Kita tak perlu tahu jalan menuju rumah, sebab pasti akan pula pulang. Ya, Pulang.

Betapa indahnya, ternyata, arti pulang. Padahal, dulu sekali, aku sangat menginginkan selalu pergi. Mengumpulkan kosakata pergi agar aku tak
Ingat pulang, namun aku kian terlantar dalam makna merantau. Kulempar
kunci rumah ke semak untuk tidak ingin lagi mengingat pulang.

Namun kini aku benar-benar merindukan pulang. Kangen kesumat pada
rumah: tempat kelahiran dan kematian—sebuah surga yang diturunkan.
Di bawahnya, konon sungai susu yang mengalir. Bidadari tersenyum dan
bermain di taman-tamannya,

sehingga membuatku urung pergi. Kuretakkan setiap jalan yang
ingin mengajakku merantau



-ISBEDY STIAWAN Z. S.=