Minggu, 30 Agustus 2015

CATATAN SENJA DI JENDELA BUS KOTA karya : Ahmadun Yosi Herfanda

Selalu saja berkelebat bayangmu
Di antara kesiur angin, kepul asap dan debu
Tak ada bau parfum yang tersisa
Tak pula patahan helai rambutmu
Tapi di pojok jendela bus kota
Masih mekar juga senyum mawarmu

Kutahu, duniaku sekotor debu
Sehina ketombe yang sesekali mengusam
Pada kilau rambutmu
Tapi pada jantung sekecil debu
Ingin kubingkai luas cakrawala
Bagi kerling matamu

Pernahkah kau rasa juga
Semua yang kurindu?
Ah, kutahu, kutahu, ingatan itu
Telah terhapus jadwal rendesvous
Yang tak terjangkau sisa usiaku


Jakarta, Februari 2007.

=AHMADUN YOSI HERFANDA=

INDONESIA, AKU MASIH TETAP MENCINTAIMU karya : Ahmadun Yosi Herfanda

Indonesia, aku masih tetap mencintaimu
Sungguh, cintaku suci dan murni padamu
Ingin selalu kukecup keningmu
Seperti kukecup kening istriku
Tapi mengapa air matamu
Masih menetes-netes juga
Dan rintihmu pilu kurasa?

Burung-burung bernyanyi menghiburmu
Pesawat-pesawat menderu membangkitkanmu
Tapi mengapa masih juga terdengar tangismu?
Apakah kau tangisi hutan-hutan
Yang tiap hari digunduli pemegang hapeha?
Apakah kau tangisi hutang-hutang negara
Yang terus menumpuk jadi beban bangsa?
Apakah kau tangisi nasib rakyatmu
Yang makin tergencet kenaikan harga?
Atau kau sekadar merasa kecewa
Karena rupiahmu terus dilindas dolar amerika
Dan IMF, rentenir kelas dunia itu,
Terus menjerat dan mengendalikan langkahmu?

Ah, apapun yang terjadi padamu
Indonesia, aku tetap mencintaimu
Ingin selalu kucium jemari tanganmu
Seperti kucium jemari tangan ibuku
Sungguh, aku tetap mencintaimu
Karena itulah, ketika orang-orang
Ramai-ramai membeli dolar amerika
Tetap kubiarkan tabunganku dalam rupiah
Sebab sudah tak tersisa lagi saldonya!


Jakarta, 1997/2008

=AHMADUN YOSI HERFANDA=

AYAT-AYAT ALAM karya : Ahmadun Yosi Herfanda

berabad-abad wajah tuhan bertaburan
jadi ayat-ayat alam yang berserak pada batu-batu
tiap perciknya menjelma wajah yang berbeda
berabad-abad wajah tuhan bertaburan
dalam serpihan cinta sekaligus sengketa

berabad-abad pula adam gelisah
mencoba menyatukan wajah tuhan
dalam gambaran seutuhnya. namun
selalu sia-sia ia. sebab, tuhan lebih suka
hadir dalam keelokan yang beraneka

pada keelokan pohon dan keindahan batu
pada keperkasaan ombak dan kediaman gunung
pada wajah suci seorang bayi dan hangat matahari
dan pada wajah manis seorang istri
tuhan hadir dalam senyum abadi

berabad-abad wajah tuhan bertebaran
pada ayat-ayat alam yang selalu
menemukan tafsir sendiri


Jakarta, 1995/2007.

=AHMADUN YOSI HERFANDA=

 

NYANYIAN SENJA SEORANG PENCINTA karya : Ahmadun Yosi Herfanda

jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup tanah dan batu-batu
menumbuhkan pohonan di tamanmu
putik bunga pun bertemu benihku
membuahkan cintamu

jika kau haus, minumlah jiwaku
jika tubuhmu berdaki
mandilah dalam kasihku
ikan-ikan bahagia dalam asuhanku
kafilah gembira menemuku

tiadalah arti hidup jika sekadar hidup
tiadalah arti mati jika sekadar mati
jika hidup tiada sebatas hidup
jika mati pun tiada sebatas mati
(jika tak takut hidup jiwa pun tak takut mati
karena dalam mati jiwa menemu hidup sejati)

jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup akar belukar dan pohonan
katak-katak bahagia dalam sejukku
teratai pun tersenyum
dalam ayunan jiwaku

tiada makna hidup
jika tiada menghidupi
tiada nikmat hidup
jika tiada memberi arti
– jika engkau pelaut
layarkan perahumu
pada keluasan hatiku!


Yogyakarta, 1984/2007.

=AHMADUN YOSI HERFANDA=

SAJAK EMBUN karya : Ahmadun Yosi Herfanda

hanya karena cinta embun menetes
dari ujung bulu matamu, membasahi
rumput dan daun-daun, lalu meresap
ke jantungku. cacing-cacing pun berzikir
padamu, mensyukuri kodratnya tiap waktu

siapa yang menolak bersujud padamu
yang tak bersyukur karena karuniamu?
barangkali hanya orang-orang congkak itu
orang-orang yang berjalan dengan kepala
mendongak ke langit sambil melirik
dengan cibiran harimau

hanya karena cinta hujan menetes
dari sudut pelupuk matamu, membasahi rambutku
menyusup ke pori-pori tubuh, syaraf dan nadi
menghijaukan kembali taman hatiku
burung-burungpun bernyanyi karenaku
berzikir dan bersujud padamu
– ya allah, ampuni adaku padamu!


Yogyakarta, 1990/2007.

=AHMADUN YOSI HERFANDA=

JALAN RINDU karya : Ahmadun Yosi Herfanda

Di jalan manakah engkau kini menunggu
Kekasih. Begitu panjang jalan kutempuh
Tapi, tak sampai-sampai juga padamu

Berapa abad lagi aku mesti
Menahan nyeri hati tanpamu
Kutanggung sendiri berwindu rindu
Kutahan sendiri sepi tanpamu

Di manakah kini engkau menunggu
Kekasih. Setelah kutinggal khianat tanpamu
Tak tahu lagi kini alamat bagi rinduku
Masih terbukakah pintu untuk kembali
Ke satu cinta hanya padamu?


Jakarta, 2007.

=AHMADUN YOSI HERFANDA=

TAFSIR RINDU karya : Ali Syamsudin Arsy

 

Mendamai hati dalam gaduh-gemuruh;
darah untuk Yahya, sembahyang terakhir
dan ngilu tubuh batang pohon, gergaji perih

tubuh Zakaria
tetapi tetap bernyanyi. Nyanyian semakin tinggi
membelah malam, menembus siang
ke tingkap langit, lewat dingin api Ibrahim, tenang

Mendamai hati dalam gaduh-gemuruh;
damai, damai, damai, Perindu, Perindu, Perindu
getar kilat pedang Ibrahim, Ismail terlentang, Wahai
langkah tenang, kata-kata tenang
Perindu mengenang mata tajam, Muhammad tenang
pelayaran di atas riak gelombang, laju deru layar Nuh

Mendamai hati dalam gaduh-gemuruh;
damai Yusuf dingin dasar bumi
Yakup melangkah di terang jalan, aroma jauh

dalam kebutaan
ngingir kuman di tubuh Ayub. Sendiri dan sendiri
sendiri Yunus dalam lendir perut ikan
para nabi, para rasul bernyanyi dan bernyanyi

Menanti putusan terakhir di peraduan telanjang;
bagai tanah retak mencium bau gerimis
di ujung musim kemarau. Hujan, datanglah hujan
datang, datanglah datang
bukan hanya gerimis di siang. Bukan hanya bayang
ditempa sudah, diperam sudah, dicambuk sudah

Menjadi diri-sendiri ditempa diam Wahai;
Perindu membentuk-dibentuk, memusnah-dimusnah
dalam diam segala diam. Dalam diam ternyata

ada Wahai
ada gerak memahat jiwa, melukis sukma
o, Perindu menatap rembulan, perlahan menghilang
kemudian terbit siang. Mengerti adanya pergeseran

Mendoa di segala sikap;
ya, Wahai, tak ada yang dilupa untuk Wahai
segala dari Wahai. Tubuh ini, jiwa ini
segala dari Wahai. Langit ini, bumi ini
segala dari Wahai. Perputaran ini, tata surya ini
ya, Wahai, tak ada yang dilupa, selalu doa

Mengekalkan nama di pasir berombak;
Perindu merebahkan tubuh di hamparan pasir
menulis nama Wahai, di sana, datang ombak
datang laut. Tulisan lenyap tak dikehendak
menulis lagi. Sebuah nama hapal dieja
datang ombak, datang laut. Tulisan lenyap. Tulis lagi

Merajut serat-serat benang Kekasih;
benang-benang merah memulun hati, bergumpal
mencari pangkal, menangkap ujung
bergumul-menggumul. Perindu, penenun abadi
mencipta kain, tak tampak helainya
sebab untuk jiwa, siapa yang dapat menatapnya?

Merenungi lingkup kaki langit;
mengerti kecil, paham yang besar
mengerti buta, paham akan pengertian
siapa di dalam, silahkan keluar
siapa di luar, silahkan masuk, tetap menunggu
Perindu menggenggam keyakinan hakikat kaki langit

Mendulang ke dasar bumi, merabuk batu murni;
menembus lapisan demi lapisan. Cakar dibuka-bentang
tangkap membayang bagai sayap mengembang
mata tajam menembus sinar terang
sambil berzikir, bercakap pada sumber
oh, perindu, tak kenal lelah, bebatuan, dasar lautan

Menyelam ke dasar lautan;
meraih debu laut, bagai ganggang melayang
tertangkaplah jejak kerang. Mutiara di dalam
dari debu, pasir, mengeras gerah, Wahai
membatu berselimut cahaya
di dasar, Perindu, tersenyum menatap ingin

Melangit harap terhampar di bumi bergulung;
tak ubah tangis bayi, tangan mengulur pinta
semuanya harus tercipta. Perindu membayang angan
enggan berganti, enggan membagi, enggan berbagi
dengan langkah lain pun sukar mempercayai
sebelum dapat Wahai dalam pelukan

Mengulur timba sampai ke pucuk-lunas;
terasa ada yang tersisa. Masih
bila hanya mengukir di tepi-kali-luka, di luar
ke dalam menghirup sari pati
puncak segala puncak, pucuk segala pucuk
yakin bahwa dalam biji masih ada lembaga dan jiwa

Membilas wajah di bening telaga-danau;
di zaman debu
walau mengepul asap mengatas deru
hutan dunia menjadi ladang berburu
keruh segala keruh, lusuh segala lusuh
di gersang zaman debu. Setelah dapat mati tak apa

Berwudhu kumpulan embun, mencair di telapak;
manusia menghisap darah manusia
selain Perindu, Wahai, dan Kekasih
adalah mengental nanah dimamah, akh
Perindu berwudhu
membayang kerabat celaka, menimpa jauh dari Wahai

Berhembus ketika diam bunga;
rumput kering di muka, api di tangan membara
terkejut. Diam seketika. Kagum bertatap tiba-tiba
Kekasih. Datang, selalu datang
dan kemilau salam, gemamu tertangkap di taman
pertemuan tak terduga. Musim hujan, bunga

Menyibak kabut, mengurai benang kusut;
ketika badai mengamuk, bergelombang, bersahut
dengan cahaya membelah gumpalan hitam.

Darah siapa
selain duri dan debu
ternyata luka hari pun mengikuti
dan waktu selalu memburu. Bahkan di muka

ia menyeru

Mengisi lapar dengan batu kali-jalanan;
mengerti lapar tak kenal lapar
menggelepar. Wajah dipajang. Kotak kaca, oh, kejam
mulut menganga, membuih senyum berkembang
tengadah. Kaki bersila di tikar. Basah dari atas puja
tak ada yang lain, hanya Wahai Kekasih

Menggurun langkah-kaki telanjang;
mengerti panas, tak kenal panas
pasir batu lembah sumur kering haus duh duh
menyingkirkan asap dupa. Tak ada siapa-siapa
Perindu, gila dalam kesendirian. Alfa untuk yang lain
bebas menyiksa. Batin termakan bisa, memakan bisa

Menepis waktu;
bila sudah begini, Perindu tak dapat dikekang
walau waktu. Hari-hari pun lepas dari pandang
sepi bergelut. Sendiri, sampai sendiri
tak kenal tepi. Menangkap untuk segera berhadap
Perindu selalu lekat, tak lepas dari dekap

Membunuh raga, menyalakan jiwa;
darah dari jantung, menetes luka, bukan apa-apa
segalanya untuk Wahai. Berseru, mencipta gema
memantul di setiap sudut, untuk Wahai
Perindu menyeru, memanggil deru
enyahkan serpih-serpih debu, untuk Wahai

Bergumam dalam mimpi;
datang, datang, datang. Tak jauh, tak pergi
Perindu tidur nyenyak dihembus angin
hanyut dalam badai, tak kenal badai
hangus dalam api, tak kenal api
akh, mari, ke sana- ke mari, untuk, dan … aakkhhh

Menembus batas-jalan kawat berduri;
dalam perang, Perindu tertembak, luka, limbung granat
lalu tertusuk panah, membiru, bercecer

darah di pundak
datang pedang membabat, mencencang tulang
luka demi luka belum kering, perindu berucap:
“Bertemu di sini, Kekasih,” tersenyum

menatap Wahai

Menyimak suara-suara dalam tangis bayi;
“Oh, janjiku pada dunia. Berwarna, bersilang
setujuku berarti hidupku. Dari Wahai aku ada
perjanjian hidupku adalah tanggung-jawab diriku
aku, bagaimanapun juga akan menuju sendiri
yang lai adalah udara untuk napas-hidupku.”

Menyimak suara-suara dalam tangis bayi;
“Oh, tatapku yang pertama, tangisku, air mata luka
jalanku di dunia. Jalan harapku di sana, Wahai
jalan yang berliuk-garis. Lekuk-melekuk, Wahai
bercabang, beranting. Lurus, meliuk, melingkar
tak terduga, samar pada mata terbuka-telanjang.”

Menyimak suara-suara dalam tangis bayi;
“Oh, biarkanlah aku melangkah ke diriku yang aku
setiap engkau adalah dermaga yang sementara
begitu pula dermaga-dermaga yang lain
di ujung perjalananku, di sana, bersama Wahai
ada aku yang setia menunggu, sampai aku tiba.”

Menata diri dalam dekap sepi;
di tempat yang sepi, diriku berdiri, sendiri
berbenah dan menata bekal, menuju peristiwa diri
untuk sebuah jaringan perjalanan, bulat-berbelit
setiap langkah adalah lingkaran
setiap buhul adalah istirahat yang tidak kekal

Menyusun kata di dinding angin;
ia adalah saksi setiap perjalanan
ia adalah bukti adanya kehidupan
tak akan hilang. Abadi. Ya, abadi
karena angin selalu ada. Bergerak. Ya, derap
penyampai pesan antara bumi dan langit

Melayang di arus tata surya;
alam bunga, alam bunga, alam bunga. Zikir ditata
simaklah dengung nurani bergema. Cahaya
bersimpuh. Mata terkatup, duh, Kekasih
putar-berputar. Bagai gabus, tenang di muka air
hanyut bersama cahaya matahari dan bulan

Berselimut dingin cuaca;
dalam kamar remang, telanjang diri, bercakap sepi
membuang cakar, enggan berbagi
oh, dingin. Perindu membaca diri

pada cermin masa lalu
yakin tak kuasa, tapi menguasai-dikuasai
memeluk Wahai. Oh, matahari di kamar ini

Meneguk duri sari bunga;
tak bertanya di mana kini. Mabuk, mabuk cuaca
mata-angin pun tak peduli, siapa
melingkup kelopak bunga, memamah durinya
seteguk bertambah teguk untuk mabuk.

Racun diteguk
Perindu duduk-bersila, mengucap zikir,

sebut-menyebut

Menangis bahagia, kuntum teratai;
maaf menghapus dusta, teratai
air mata menjelma bening danau. Tampak dasar
berbatu, perindu membungkam keruh.

Tenanglah teratai
berkuncup putih, kuning sinar di tengah
daun melebar mengundang datang, Wahai

Berulang menatap rupa di telaga;
tanpa menyentuh permukaan, bening dan tenang
menikmati riak kecil gelombang, ditiup angin
sehelai daun jatuh melayang, pelan
tanpa mengusik keasyikan. Malam dan siang
mengenal sampai ke lekuk-lekuk. Rupa demi rupa

Menata debu, pasir dan batu, seakan bisu;
membayangkan berdirinya istana dan menara di sana
sinar lampu di puncak. Tinggi menyebar bunyi
apa, siapa, mengapa, di mana, untuk apa, dari mana
Perindu bekerja sendiri, lalu sendiri, seakan bisu
Perindu membuta sekeliling, semua dianggap gila

Menantang maut di jalan sepi;
menolong sudah, ditolong sudah
berdiri di titik kosong. Ada yang ditunggu, datang
petuah sudah, nasihat sudah
tegak, pasti. Tak akan berpaling, datanglah
juga tak akan undur, walau selangkah

Tafakur dalam setiap ruang-waktu;
dari sendiri kembali sendiri
dalam pikuk pun tetap di tengah sepi
mengerti gaduh, tak kenal gaduh
mendengar lalu menyimak, mencari lalu menangkap
berzikir tentang diri, sadar akan kembali

Berdesir membisik angin;
Wahai, Perindu di sini, tak berbilang kata untukmu
di luar dan di dalam sama. Rata diputar cuaca
menyimak titik-titik embun
membercik ke lantai kamar gerimis
sebelum hujan. Salam untukmu, Wahai, Perindu di sini

Menabur benih di ladang;
sebagai tempat berhadap. Di taman, Perindu datang
semua warna ada. Jangan tinggalkan, Wahai
bisik desau di dahan
kembang kuncup merekah semai
Perindu akan segera menuai

Melingkar jalan di titik putar;
sapa dan salam, bermula dari jauh, untuk sampai
bentangan harap sudah panjang, sejak mengerti
ketika lupa arah semula. Kembali ke pangkal
bayangan tak lepas, sinar dan cahaya
pertanda Perindu paham di mana sumber

Menolak bias jalan hujan keabadian;
Perindu menadah lurus jalan. Dari atas ke bawah
bukan percik yang diraup
langsung ke sumber, inti pati, jatuh, lurus
tegak dari atas ke bawah. Bukan dari tangan lain
sejuk Wahai Kekasih. Tak ada yang lain,

walau bayang sendiri

Bertolak dari jauh menuju dermaga istana Wahai;
riak demi riak, mendekat
ombak demi ombak, mendekap
dermaga, istana Wahai, menggapai-gapai
mesra menyambut. Samar-samar tertawa
mengecup duh senyum tanah pijak, tanah harap

Menyusun tulang-belulang sendiri di pusara;
di tengah ruang sempit ini, ya, pusara
tak ada yang dapat melepaskan pengikat jiwa
kulit hancur, daging hancur
tinggallah tulang-belulang tersebar, sementara
kemudian disusun ke aslinya. Lalu lenyap juga

Meniti di tangga tingkap langit biru;
satu-satu dilewati-melewati
sampai ke batas puncak paling tinggi
di sana bernyanyi, mengucap salam
Perindu datang, sendiri-sendiri
Wahai membalas salam, membalas nyanyi



 

/Durian Gantang 1989 awal tulisan,

penyelesaian di daerah Sebamban 1991

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

GUMAM DARI ISTANA DAUN RETAK karya : Ali Syamsudin Arsy

telunjuk mengarah pada satu titik, istana daun retak
bertahun sudah mencoba membangun
lembar-lembar daun, dari yang berserak kepada menghimpun
telunjuk itu membuka garis-garis di telapak

 

lihat, ini pasukan cicak di belantara
rimbun daun dan jejak-jejak
dengar, suara-suara gemeretak
dari helai-helai daun yang mulai retak
kering, lusuh-lapuk menuju lenyap


sebagaimana hikayat dari bangunan sebuah istana
pasir-pasir menjadi perih di tempias ujung kelopak
buih-buih dari berjuta akan selesai bila telah berucap
ternyata tidak segampang itu ternyata tidak semudah itu
ternyata tanah tempat bangunan istana itu
terbuat dari serak-serak rerimbun daun-daun retak
runtuh pun mengancam di puncak
mahkota mahkota, ya mahkota dari cuaca terkuak
tak jua tak tak memperjelas gerak tak

 

lihat, ini pasukan manusia kelas paling miskin
berduyun berjejal terinjak-injak
dengar, gemuruh di dapur-dapur lusuh dan sakit
pasukan perut yang selalu melilit


setelah ini, siapa lagi tampil mendaftar
istana daun retak



banjarbaru, 19 januari 2010
saat di luar gerimis tipis mengepung sepi

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

ORANG-ORANG TAMBILAHAN karya : Ali Syamsudin Arsy

(tentu saja kita boleh bermimpi)

 

redup bola matamu, kita tentu saja bukan menjarah

saudara sendiri

turun kakiku dari anak tangga panggung malam, selimut

telah mengulurkan

tapak tanganmu menjadi hangat dalam genggam; bukan perih

tetapi tentu saja aku boleh bermimpi

 

ketipak gendang, rancak bertingkah dari derap

   ke penghujung derap

engkau tidak sendiri, berkawan senyum ramah

   di sudut pertemuan

aku ingin berlari, tetapi ada jerat dalam kerinduan

tentang kampung halaman

bukan hanya aku

tetapi engkau juga tentu boleh bermimpi

 

siapa di antara kita yang pantas disebut nenek moyang?

 

berjejer sudah lembar-lembar catatan sejarah

hanya sebatas mimpi, tentang kembali pada kampung halaman,

bertahun sudah

bertahun seperti yang kalian ceritakan padaku malam itu

malam usai pembacaan sajak, jabat tangan kalian

bertambah hangat

 

siapa pula di antara kita yang menjadi tamu

di tanah-tanah jauh?

 

entah kembali kepada entah

entah di batas keturunan mana ketika pertemuan itu

menjerat, tetapi tidak harus menjebak

karena kita

tentu saja boleh bermimpi; tentang rindu tentang diriku-dirimu

orang-orang Tambilahan

orang-orang tanah rantauan

 

dari redup bola matamu

cermin sahaja

wajah dan tatap mata

kerinduanku di tanah-tanah jauh

engkau tiba-tiba saja menjadi abadi

tentu saja kita boleh bermimpi

tanda bahwa masih ada harapan di setiap pertemuan

tentang kabar kampung halaman, di penghujung pembacaan

sajak kita terkenang

karena kita

orang-orang pahuluan



 

/banjarbaru-asa, 15 juli 2008 (sepulang dari Jambi)

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

SURAT PUTIH SEBERANG SELAT karya : Ali Syamsudin Arsy

bagimu cinta bukan hayalan

 

bersoal di ujung ranting, cintamu datang sangat tiba-tiba

kita bicara masa dahulu merajut benang-benang asmara

berpantun kita berdua dalam gerimis di tudung senja

senyumlah wahai, kakanda di kanan sebelah adinda

 

bagiku kasih satu untuk berdua

 

semenjak ombak bergulung datang

menerpa di rongga-rongga dada

semenjak tombak menghalang rintang

bersua kita di tuba-tuba cuaca

 

pasir bagimu adalah muara

 

telanjang kaki menyusur pantai di batas laut warna biru muda

bersama buih di pucuk-pucuk ombak gemuruh

terselip mimpi waktu bertemu saling menawarkan makna

namun dekapmu jarak merentang jauh

 

manara bagiku jemari kita

 

suratmu lenyapkan kata, terbaca jelas ketika tiba

kuhapus segara, datang bertubi berganti rupa

apa yang harus kita ulangi lagi membaca

hampir punah aksara di lembar-lembar sejarah buta



 

/banjarbaru, juli 2007

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

GUGAT : DIANG INGSUN karya : Ali Syamsudin Arsy

selembar harapkah yang terbayang ketika restumu

membuka jalannya

menuju harum tanah, tanah seberang

Segumpal salahkah yang membentang ketika badai itu

merintang langkahnya

menuju diam, diam sediam batu

 

seperti kabar telah disampaikan bahwa kedatangan putramu

mengetuk daun-daun pintu, sebelum terbuka

   lantaran angin menderu

engkau telah bertahun-tahun penantian; rumah

   tak lagi berpintu,

jendela, perintang cahaya pagi, terbuka selalu

mata lusuh sampai ke batas-batas kelu

alas bantalmu, alam bantalmu; adalah wajahnya

   yang engkau tunggu

 

naluri seorang ibu, harum baju dan lambai kerena restumu

dahulu, sejarah yang itu menuju kekosongan waktu

ujung jemari yang kian gemetar, tegak melurus lidi sapu

 

“… anakku anakku, ia yang berdiri itulah anakku

singkirlah ke tepi, dermaga ini telah lama mati

selaksa hari yang memenuhi hari-hari

hanya menanti, tak ada yang lain, hanya menanti

biji-biji kapuk di bantalku bertumbuhan daun-daun

air mataku telah menghumuskan pembaringan

antara gerai rambutku yang terselip di sela-sela bayangmu

pelupuk mata ini tak dapat berpejam sebelum hadir

aroma tubuh kecilmu, teramat kukenal selalu …”

 

di langit, elang mengepak berputar-putar

kulik-kuliknya menyambut putramu di balik bukit perahu

 

di sini, di rerimbun daun dan gemericik air di batu-batu

sejarah, entah dalam catatan siapa, telah terbaca

   beragam aksara

tentang hebatnya gemuruh samudera

dari gigil yang dilontar, dalam tengadah

 

“… anakku anakku, ia yang berpaling itulah anakku

singkirlah ke tepi, dermaga ini telah lama mati!!!”



 

/asa, banjarbaru, 12 januari 2011

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

JENDELA YANG KITA BACA karya : Ali Syamsudin Arsy

susunan papan berkeping luruh itu semakin lusuh

di hamparan pasir
engkau dan teman-teman lainnya menenggelamkan

kapal di tengah
lautan semakin bergelombang semakin gemuruh;

pasir bergelora
sudah kita rangkai sejumlah kata, dalam catatan sejarah usang
atas nama peristiwa yang semakin bergejolak, jendela

patah penyangga
jendela berlubang-lubang, tembus cahaya pagi siang sore

juga malam

 

ada banyak riak atas gelombang, ada banyak memang
ada yang tak pernah tuntas kita renungkan,

ada banyak memang

 

maaf, bila hanya sekedar mewakilkan kalian
di satu wilayah yang tak seharusnya kalian tempati
karena ucap dan laku tak ubahnya luka berkepanjangan

 

jendela yang kita baca, seperti kobaran api di sekam-sekam



 

/asa, banjarbaru, desember 2013

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

DURIAN GANTANG SUATU PAGI karya : Ali Syamsudin Arsy

Embun masih segar di telapak daun

tengadahkan wajahnya ke arah terbit matahari

 

Dingin masih suntuk menimbun

suara pikuk  piaraan kerja-mengejar menghampiri

 

Durian gantang, suatu pagi

pohon-pohon masih segar berdiri



 

/asa, banjarbaru, 13 januari 2011

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

KALIMANTAN, BIARKAN KAMI YANG BICARA katua : Ali Syamsudin Arsy

berharap yang lain bicara, tak ada suara
orang lain di luar sana telah bicara dengan lapisan hutan

daun rindang
belantara, sementara
kita di dalam raya kata raya aroma raya cuaca raya langit

hijau warna
masih saja, ya masih saja mencoba lepaskan gerah

dan kering cahaya
hiruk-pikuk di gamang-gamang lapisan subur berkubang

jejak lubang,
lubang-lubang sampai ke batas nganga, dan nganga itu

telah pula
hadirkan rupa-rupa wajah pendatang, sementara kita
melepas jerat saja tak mampu di cercah gelak dan tawa,

senyum kita  terkunci,
terkunci oleh kebodohan diri sendiri, tak tak  tak,

 – tak mampu menepis buta,
buta bahwa kita masih dilena dalam kungkung dan buai

morgana, morgana
dalam sekap-sekap pendar cahaya

 

di puncak pucuk daun kerontang kita lihat ujung monas

yang tajam,
tajam menghujam,
dan kisah rimba raya, kisah hutan-hutan penuh misteri;

lenyap tanpa cerita
kalimantan, biarkan kami yang bicara
bicara di antara debu dan degup jantung berpacu

 

berharap yang lain bicara, tak ada suara, dan sungguh,

tak ada suara
kalimantan, biarkan kami yang bicara
bicara dengan senyum terkunci


ketidak-adilan itu tetap saja ada di sini



 

/asa, banjarbaru, 14 Juli 2013

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

BULU MATA GALUH CEMPAKA karya : Ali Syamsudin Arsy

(bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku 

hanya melahirkan duka lara  

maka  engkau datang percuma saja;  bertahun sudah 

gumpalan sakit  berpuluh sakit

sampai ke anak-pinak,  tetaplah meredam sakit, 

engkau berduyun datang  

di penghujung waktu  aku tetap saja terkepung )

 

ternyata harum bau tanah  ternyata subur lapisan

bawah tanah

tak jua menghilangkan rasa percuma

gegap-gempita,  hanya untuk sorak-sorai  

orang-orang yang datang

dari kejauhan

melangkah pasti

sampai ke batas-batas kepunahan

di sini  tetap sebagai rumpun-rumpun ilalang yang mati

 

(bila kemilau dan  fuah - rahasia itu  tak mampu menuntunku  

ke wilayah-wilayah capaian  maka amarah pun membara

sampai ke bulu-bulu mata,

akulah si Galuh Cempaka,  lahir dari mitos-mitos

perkampungan  

di tanah-tanah lubang pendulangan; akulah yang melagukan

derap di keheningan hutan-hutan, akulah yang melagukan

pikuk di gamang-gamang harapan, akulah yang melagukan

riwayat-riwayat perjalanan, akulah yang melagukan

kematian raja-raja  

sampai berlapis-lapis turunan, akulah;  laguku lagu kemilau  

di lingkaran mahkota raja-raja, laguku lagu cahaya

di anggunnya suri-suri penguasa,

laguku lagu darah yang membasah di anak tangga setiap istana;

akulah yang melagukan, akulah, akulah itu  sebagai lagu  

si Galuh Cempaka)

 

ternyata  kemilau itu  tak jua sampai kepada harapan,

orang-orang di lingkaran lubang-lubang galian

ternyata  f u a h  - rahasia itu telah ditangkap

sebelum harapan,  orang-orang dengan peluh setajam tirak  

tetap saja berdiri kaku  diam tak bergerak

ternyata  riwayat dari mitos itu selalu saja 

menggelinding menjauhi,

orang-orang  dengan kepal mengeras  di linggangan waktu pun

tak pernah berpihak

ternyata banyak riwayat perjalanan tak pernah menuntaskan,

orang-orang terjebak di dalam sulung-sulung bertingkat

ternyata  perjalanan darah itu adalah sejarah, 

orang-orang saling menatap  di bibir  lubang surut – lubang dalam

jebak lumpur kepunahan

 

(bila garis lurus ditarik dari  Ampar Tikar  Riam Kanan 

Mandikapau  Tiwingan

Rantau Bujur  Rantau Alayung  sampai

kepada  Gompong  Sungai Besar  

dan bertemu titik di  Awang Bangkal 

maka  adakah geriap di setiap ucap  

zikir mereka,  padahal ada geliat Trisakti, melewati batas

benua, ada Galuh Cempaka, sebagai wujud dari beragam

legenda,  ada Galuh Bulan, bermuasal mimpi kapala lubang  

ada Galuh Badu, selain bermimpi di arus bening tanah

Bati-bati,

ada yang kini terkesima dengan  si Putri Malu mimpi

yang terputus

dalam igau tidurmu,  wahai para pendulang  yang duduk

termangu,  dari dahulu

sampai sejarah berulang kini,  tetap duduk termangu 

bila musim hujan datang

menerjang sepi  lingkaran linggang-linggang  melepas

goyang goyang di riak

pemisah batu lumpur dan kemilau  sampai berharap  sampai

berangan menjauh tangkap di lunas kaki berpijak; sampai

desauku di pelepah dahan  

sampai risauku di rimbun daun,  sampai galauku di rimbun

tulang;  akulah si Galuh Cempaka  asal pungkala  sebab

darahku meriap sampai di bulu-bulu mata)

 

lagu hujan  di lubang-lubang galian

lagu sampai para pendulang

sejarah batu melepas mimpi

berangan-harap  sampai  di gigil tulang

lubang-lubang merekah  lubang-lubang  luas menganga

sulung-sulung waktu itu  melinggis darahku,  darah si Galuh Cempaka

nasib yang bertali beban

pundak dan langkah terseret dirunduk ngilu

pusara pusara pusara,  tak mampu  menepis enyah

pusaka pusaka pusaka,  tak mampu menipis resah

lagu-lagu di turunan hujan itu selalu saja

melempar lambai  anak-anak gemulai

lagu-lagu di tikungan hujan itu  sama saja

menolak lambai  wanita-wanita penunggu belai

lagu-lagu hujan itu,  sebagai penanda

riwayat sedih datang berulang

lagu-lagu hujan itu

 

(bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku 

hanya melahirkan duka lara

maka  engkau datang percuma saja;  bertahun sudah 

gumpalan sakit  berpuluh sakit

sampai ke anak-pinak,  tetaplah meredam sakit,  engkau

berduyun datang  

di penghujung waktu  aku tetap saja terkepung )

 

bulu mataku  bulu si Galuh Cempaka

tiris atap rumahku

tak sebanding kilau  melepaskan cahaya

 

(bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku 

hanya melahirkan duka lara  

maka  engkau datang percuma saja;  bertahun sudah 

gumpalan sakit  berpuluh sakit

sampai ke anak-pinak,  tetaplah meredam sakit,  engkau

berduyun datang  

di penghujung waktu  aku tetap saja terkepung )



 

/asa, banjarbaru, 21 desember 2008

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

KEPOMPONG WAKTU karya : Ali Syamsudin Arsy

“semuanya tinggallah menunggu, juga aku
di barisan yang sebelah mana pada stasiun yang mana
kapan-kapan, akan menjadi biasa saja,”
sebutir pasir tengadah ke langit biru
bergunduk ia di tepisan jemari halus siput-siput pantai
“ke satu titik kita terus saja kembali
mengatas-nama desau dan gelombang pasang
ada saja kabar dari daun bakau
kering dan gugur bergaram di tanjung pulau,”
sekelompok ikan menyerbu karang
masuk ke celah melayang pergi ditingkah

arus bawah hamparan
laut tak pernah sepi

 

“berputar menari-nari
hilang datang lalu pergi lagi
melingkar-lingkar di satu pusaran,”
kepompong waktu



 

Banjarbaru, juli 2007

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

CILIWUNG YANG MANIS karya : W. S. Rendra

Ciliwung mengalir
dan menyindir gedung-gedung kota Jakarta
kerna tiada bagai kota yang papa itu
ia tahu siapa bundanya

CIliwung bagai lidah terjulur
Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya

Dan Jakarta kecapaian
dalam bisingnya yang tawar
dalamnya berkeliaran wajah-wajah yang lapar
hati yang berteriak karena sunyinya
maka segala sajak
adalah terlahir karena nestapa
kalaupun bukan
adalah dari yang sia-sia
ataupun ria yang berarti karena papa

Ciliwung bagai lidah terjulur
Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya

Ia ada hati di kandangnya
Ia ada nyanyi di hidupnya
Hoi, geleparnya anak manja!

Dan bulan bagai perempuan tua
letih dan tak diindahkan
menyeret langkahnya atas kota
Dan bila ia layangkan pandangnya ke Ciliwung
Kali yang manis membalas menatapnya!
Hoi! Hoi!

Ciliwung bagai lidah terjulur
Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya

Teman segala orang miskin
timbunan rindu yang terperan
bukan bunga tapi bunga
Begitu kalu bernyani meliuk-liuk
dan Jakarta disinggung dengan pantatnya




=W.S. RENDRA=