Jumat, 31 Juli 2015

NAMA NAMA karya : Kuntowijoyo

Nenek moyang mencipta nama-nama

Mereka tinggalkan begitu saja tanpa catatan kaki

Seolah sempurna isi kamus

Ketika hari mendung dan engkau perlu mantel

Tidak lagi kautemukan di halamannya

Berceceran. Hujan bahkan melepas sampul

Sesudah leluhur dikuburkan

Alangkah mudahnya mereka larut

Sebagai campuran kimia yang belum jadi

Terserap habis ke tanah.

 

Karena hari selalu punya matahari

Nama-nama terpanggil kembali

Dengan malu mereka datang

Telanjang sampai ke tulang

Tiba di meja mencatatkan nomor-nomor kartu

Menandatangani perjanjian baru

 




=KUNTOWIJOYO=

DIAM karya : Kuntowijoyo

Diam itu udara

mengendap di pohon

menidurkan derkuku

menjentik ranting patah

menyulam rumah laba-laba

 

Yang petapa menutup mata

Ketika angin membisik duka

mengusap halus ruang

dengan isyarat jantungnya

Serangga berjalan biasa

seolah ia tak di sana

 

Yang petapa menutup mata

ketika udara menggoda dendam

hanya napas yang lembut

menghembus cinta

Daun pun mengerti

menghapus debu di dahinya

 

Yang diam.

Yang petapa.

Yang sahabat.

Yang cinta.




=KUNTOWIJOYO=

BENCANA karya : Kuntowijoyo

Toko-toko di kota

sudah ditutup. Anjing menjajakan gonggongnya

pada yang bergegas lewat. Tak seorang tahu

sekarang jam berapa. Hari sudah jadi kemarin.

Nyanyian sudah berhenti di night-club.

Polisi kembali ke pos, menyerahkan pestol

dan tanda pangkat pada bajingan. Yang serba

hitam mengambil alih pasar-pasar. Menawan

wali kota. Mendudukkan kucing di pos-pos

penjagaan. Mereka tahu, semua sudah jadi tikus.

Sia-sia! Rumah-rumah tertutup rapat.

Tidak peduli hari menggelap, lampu jalan

memecah bola-bolanya karena sedikit gerimis,

terdengar retaknya. Kertas-kertas koran,

coklat dan lusuh menggulung kotoran kuda.

Besi-besi berkarat memainkan sebabak silat

di jalanan, lalu diam mengancam. Terdengar

gemuruh tapak kuda di setiap muka rumah,

merebut darah dari jantung. Detak darah tidak

karena urutan, tapi diperintah ringkikan kuda.

Nyanyian sudah berhenti, dihapus dari ingatan




=KUNTOWIJOYO=

KENANGAN karya : Kuntowijoyo

Yang tergantung di udara:

jari menunjuk ke bulan

mengingatkan kenangan

Kapas-kapas ladang

dipanen angin malam

melayang-layang putih

bersaing dengan bintang

pergi ke utara

menyongsong rumpun bambu kuning

yang berubah jadi seruling

Dengan sukarela, waktu

mengikut bujukan anjing

menyalak ringan dari temaram.

 

Lima pasang sejoli

berjalan-jalan di taman

membiarkan rambut terayun

mandi cahaya.

 

Bulan adalah guna-guna

penyubur cinta.

 




=KUNTOWIJOYO=

PETUAH karya : Kuntowijoyo

Langkah tidak untuk dihitung

ia musnah disapu hujan

Ketika engkau sampai pangkalan

ingatlah, itu bukan tujuan

Cakrawala selalu menjauh

tak pernah meninggalkan pesan

di mana ia tinggal

Hanya matamu yang tajam

menangkap berkas-berkasnya

di pasir, sebelum engkau melangkah

Tanpa tanda-tanda

engkau sesat di jalan

kabut menutupmu

menggoda untuk diam

Karena kabut lebih pekat dari udara

engkau bisa terlupa.

 




=KUNTOWIJOYO=

PENYUCIAN karya : Kuntowijoyo

Sebelum dihinakan

kalungkan daun bodi

dalam benang emas di pagi hari

tuliskan huruf-huruf Abadi

menandakan engkau lahir kembali

 

Di tengah yang serba empat

tersembunyi pusat

di mana hidup mengendap

ambil air dari dasarnya

satu teguk untuk ragamu

satu teguk untuk ruhmu.

 

Sempurnalah wujudmu

Pergi ke utara

mereka siapkan puji-pujian

untukmu.

 

Ada pun Kalimat

ialah hakikatmu yang pertama.

Ada pun Laku

ialah hakikatmu yang kedua.

 




=KUNTOWIJOYO=

DESA karya : Kuntowijoyo

Yang berjalan di lorong

hanya suara-suara

barangkali kaki orang

atau malaikat atau bidadari atau hantu

mereka sama-sama menghuni desa di malam hari

 

Kadang-kadang kentong berjalan

dipukul tangan hitam

dari pojok ke pojok

menyalakan kunang-kunang

di sela bayang-bayang

 

Kalau ingin melihat hidup

pandanglah bintang-bintang

yang turun rendah

menyentuh ujung kelapa

atau berhenti di bawah rumpun bambu

mendengarkan tanah menyanyi

 

Tunggulah, engkau tak akan percaya

Siapakah mengerang dari balik dinding bambu

Barangkali ibu yang kehabisan air susu

Ya Tuhan!

 




=KUNTOWIJOYO=

Kamis, 30 Juli 2015

KOTA TANPA BUNGA karya : Bambang Widiatmoko

: Wan Anwar

 

Ketemu kota tanpa bunga

Apalagi kata-kata, telah dipatuk burung gererja

Hanya deretan pohon asam tua

Pertanda dulu pernah jaya

 

Debu menyebar di alun-alun kota

Yang tampak tak tertata

Menghitung jejak yang tertinggal

Mungkin hanya sajak, lantas terinjak

 

Menemu malam, sepanjang jalan raya

Deretan lampu terukir Asma’ul Husna

Barangkali menjaga tutur kata

Atau tempat kita berjanji, melangkah pergi

 

Benteng tua muncul di depan mata

Juga mesjid dan menara

Menghitung peziarah, menghitung peminta-minta

Semua penuh harap, hatinya mengerjap

 

Kota tua berselimut doa

Tersandar  di tepi dermaga

Bagai perahu tua sarat luka

Siap terkubur di samudera




=BAMBANG WIDIATMOKO=

GOA LEANG LEANG karya : Bambang Widiatmoko

Langkah kaki membawaku ke sini

Tertatih-tatih berjalan mendaki

Merayap dari batu ke batu

Memasuki goa dengan rasa haru

 

Lukisan telapak tangan zaman prasejarah

Seakan menyapa dan menyapu gelisah

Sisa kulit kerang yang dulu sampah

Telah menjadi fosil dan catatan sejarah

 

Betapa telah panjang riwayat kehidupan

Dalam jejak lautan dan kepulauan

Tak sekedar kata-kata dan bendera

Tapi telah terukir di dada

 

Lukisan telapak tangan di goa Leang-leang

Peradaban dunia yang dulu lengang

Kini serupa cermin, betapa kita semakin miskin

Dan kian asing, tak menghargai angin

 

Kesunyian telah direkam burung gagak

Juga kotoran kelelawar yang terserak

Meninggalkan lorong goa yang gelap

Terasa jiwaku tertinggal, tak lagi gemerlap

 

Betapa tak akan habis dicatat dalam kitab,

: Indonesia

Warisan sejarah, dibaca berabad-abad

: Indonesia

 




=BAMBANG WIDIATMOKO=

RAHASIA CINTA karya : Bambang Widiatmoko

Kebahagiaan yang hanya sesaat kukecap

Biarlah tertambat menjadi kenangan tak terucap

Jemarimu yang pernah kugenggam erat

Kini terlepas dari hati yang penat

 

Bukankah cinta tak berarti memiliki

Tapi mengapa jiwa terasa kosong dan sepi

Akan tetap kujaga rahasia cinta sejati

Sampai kita temukan jatidiri yang tersembunyi

 




=BAMBANG WIDIATMOKO=

RUMAH KACA karya : Bambang Widiatmoko

: Sapardi Djoko Damono

 

Di rumahmu di tepian Situ Gintung

Mengapa dosa menjadi bayangan

Yang memantul di pintu dan jendela

Ketika petir menggelegar

Membuat nyali jadi padam

 

Langit kelabu menampar kesendirian

Menumpahkan hujan – hanya ada sesal

Bumi semakin tua

Dan aku pun tak berdaya

Sujud di atas sajadah – rumah penuh kaca

 




=BAMBANG WIDIATMOKO=

DOROLONDA karya : Bambang Widiatmoko

Di tengah lautan luas tak bertepi

Hanya ada harapan – di geladak kapal Dorolonda

Waktu terasa amat panjang

Sejauh mata memandang – penuh gelombang

 

Kita tak akan pernah tahu

Melewati gelombang pasang Masalembo

Terasa nyali tinggal seujung kuku

Hidup dan mati – menjadi renungan abadi

 

Di atas geladak angin menerjang

Menggetarkan tubuh – pelayaran masih jauh

Kita hanya serba menunggu

Sesekali melihat arloji – lalu kembali meditasi




=BAMBANG WIDIATMOKO=

LEMBAH HARAU karya : Bambang Widiatmoko

Seperti tokoh dalam cerpen Iwan Simatupang

Aku duduk di bangku panjang

Tapi tak tahu siapa yang kutunggu datang

 

Bukit tegak lurus dengan langit

Menjepit perasaanku tak mudah berkelit

Mungkin suatu saat akan runtuh

Mungkin juga akan tetap teguh

Mengumandangkan gema

Ketika kuteriakkan kata-kata cinta

 

Air terjun memancarkan cahaya

Lantas tenggelam di balik tubuh

Anak-anak yang berenang

 

Daun mahoni yang gugur

Berubah menjadi perahu bergoyang perlahan

Barangkali akan mengantarku pulang

Sebelum matahari benar-benar tenggelam

 




=BAMBANG WIDIATMOKO=

PENGANTIN JAGUNG karya : Bambang Widiatmoko

Antara jagung bakar dan kematian

Alangkah dekat pertautannya

Asap wangi yang menyebar ke udara

Kurasakan seperti bau tulang yang terbakar

 

Hendak kujumput nafas kehidupan

Di bawah beringin alun-alun utara

Tapi bau jagung yang dibakar

Membakar habis tulang-belulang semesta

 

Jiwaku hangus dalam kesendirian

Cintamu membara dalam tungku perapian

Dub buah jagung bakar tergeletak di tikar

Seperti sepasang pengantin tanpa undangan

 




=BAMBANG WIDIATMOKO=

ANAK BAJOE karya : Bambang Widiatmoko

Di atas titian papan yang bergetar

Kumasuki rumah tak berpintu tak berpagar

Anak-anak Bajoe berlompatan di sela-sela tiang

Menganggap laut bagian tulang rusuknya

 

Menyelam di kedalaman laut

Dengan mata dan hidung terbuka

Tubuh laksana ikan layang-layang

Timbul tenggelam di sisi perahu nelayan

 

Anak-anak Bajoe bertubuh legam

Matanya menyiratkan kejujuran terpendam

Menjemur teripang dengan bertelanjang dada

Matahari telah bersatu dengan jiwanya

 




=BAMBANG WIDIATMOKO=

SULUK TANAH PERDIKAN karya : Bambang J. Prasetya

(perjalanan metarual sepasang elang)

 

Sepasang elang hitam terbang

menembus cakrawala

kala langit kelam dan matahari tenggelam

meninggalkan wewangian misteri senja

 

”Kami sepasang elang pengabdi kata hati

mata hati

kami manjakan dengan tafsir kebenaran

berubah selalu menjadi prasangka

yang mensia-siakan

namun kesia-siaan itupun menjadi karib

karena setiap kenyataan

kami sandarkan pada kesadaran”

 

Sepasang elang hitam terbang

tak hirau angin berarak mendung

guntur menggemuruh badai

 

”Sampai letih sayap mengepak gairah

Singgah di bibir pantai

Menunggu kembali sang mentari

Mengeringkan keringat keletihan jiwa kami”

 

Sepasang elang hitam terbang

dari pucuk-pucuk ke tangkai kering

dari hutan ke rimba

dari matahari ke bulan

dari bintang ke malam

dari ujung cahaya ke kelam

dari kesangsian ke-tidak pastian

dari peradaban ke-biadaban

terbang!

terbang!

dan terbang!

 

”Angkasa raya

adalah gurun sahara ketabahan

yang ditumbuhi duri-duri warisan purba

yang menggoreskan luka

luka kami abadi

lukisan dewa-dewa

yang diwarnai mazmur suci”

 

seperkasa siang menerjang

tinggalkan ruang singkirkan waktu

mencari jalan pintu abadi

diikutinya lenggok tarian sungai

berlabuh di jaman suci

yang disangga tiang berhala kertas

bertumpukan di rongga batok kepala

 

”Keheningan itupun melahirkan keriuhan

dalam bahasa senyap batin kami

bahasa diam adalah gemuruh laut

menggulung setiap gairah kentalkan semangat

 

Terbang!

terbang!

terbang dan terbang!!

 

Kami terbang!!!

bersayap harap

Kami terbang!!!

memerdekakan diri

tak terikat oleh kata

tak terikat oleh bentuk

 

Kami terbang!!!

mengibarkan bendera

kami punya jiwa

 

Kami terbang!!!

melintas-lintas kerakusan iman

kami terbang!!!

terbang!!!!

 

Kami sepasang elang hitam

terbang!!

meninggalkan geram serigala di rimba kota

yang meninabobokan kenyataan

bagai barisan Kurawa

mendendangkan lagu kematian

di padang Kurusetra

tidak ada Janaka dan Werkudara

apalagi Yudistira berharap mencuci dendam

 

Genderang telah bertalu

merentangkan tangan membuka

seribu jalan matahari

Gendewa telah siap

kami tak punya warastra

kami tak tahu mesti berperang

melawan apa?

melawan siapa?”

Musuh tak berwujud

dendam tak berbentuk

patahkan saja anak panah

jika seruas keberanian pun sirna

mulailah mengibarkan bendera duka cita

di ladang sawah para petani

sebelum padi-padi menguning

sebelum jagung-jagung berbiji

dan burung, tikus, ular, wereng

berpesta pora

di tengah ruwatan jagad

 

”Nestapa membakari mega-mega

menyilaukan mata kami perih

ketika pasukan berangkat

menyebrangi batas

berbekal omong kosong semata

kami lelah menunggu monumen kepalsuan

kami ingin terbang!!!”

 

Seperti langit dan warna biru

sepasang elang hitam terbang

membiarkan senja menepi

tak berlabuh

dan dingin mengatup air laut

perjalanan ini pun jadi dermaga



 

1993

=BAMBANG  J. PRASETYA=

EKSTASE MALIOBORO larya : Bambang J. Prasetya

Di sudut kotamu yang sendu

tempat ruh nenek moyang menjaga pertempuran

melahirkan bocah telanjang

dekil dan bau kemenyan

matanya silau nyanyian masa depan

 

Bulan selimut dingin

bertengger di atas jemuran

payung keemasan raja-raja

bocah tumbuh dalam dekapannya

diteteki ketika menangis

lewat alunan sungai yang diaduk-aduk polusi

disuapi ketika lapar

dari puing-puing sampah

 

Di bawah jembatan ia lahir

besar di jalanan Malioboro

ketika peluit kereta api menjerit

dan derit angkot, bercampur bau tlethong

saat toko-toko berubah jadi plaza

pedagang kaki lima tak lagi bersahaja

 

Bising kotamu

mengeraskan lengking aleman sinden jalanan

Binar kotamu

mengencangkan senar pemetik sinden jalanan

 

Senja tak berbentuk

bocah terpaku bermain kartu

lepaskan penat sehari kerja

meski siang jadi tukang sapu

membersihkan labirin pasar beringharjo

yang sepi bau susur aroma dubang

juga sengat ampek keringat petani desa

 

Bocah pinangan zaman yang terbuang

asing di tengah deru merci

dan kelap-kelip sorot lampu mercuri

keluguannya balik menipu

karena semua sudah membisu



 

1993

=BAMBANG  J. PRASETYA=

LANSKAP karya : Bambang J. Prasetya

Di pelabuhan kecil

Remang bulan sepotong

Mengasingkan kebebasan kelelawar

menggambar langit membendung janji

Laut mati

Malam berkarat

Ikan-ikan damai

dalam lukisan baru

 

Angin kelabu selatan

menulikan kesadaran

kembali kita kanak-kanak

menawar-nawar dera

akan diapakan senja?

jika teramat jauh

langit mensetiai warna biru



 

1992

=BAMBANG  J. PRASETYA=

SUNYI karya : Bambang J. Prasetya

Kabut terpaku di bukit

juga wajah-Mu

hilang di semak

atau

aku lupa

memberi tanda

pada setiap pertemuan

ruhku


 

1993

=BAMBANG  J. PRASETYA=

TEMPAT TERAMAN karya : Badruddin Emce

Dengan tangan terbiasa untuk tak senonoh

pagi akan mempersilakan duduk

di bangku yang bisa diajak sekongkol

Sambutlah! Itu tempat bagus untuk mojok.

Bercintalah denganku seperti gulung ombak

berbentuk-bentuk.

Memahat dosa menjadi patung-patung pujaan!

Tetapi jangan kaget jika yang kau jumpa hanya lubang

yang tak pernah cukup untuk berpeluk sekalian mabuk!

Pada kenanganku. Pada kenangan para pedagang

yang tidak sempat memikirkan warna julang api

saat kiosnya terbakar



 

2003

=-BADRUDDIN EMCE=